JAKARTA, Cobisnis.com – Harga tanah di Jakarta kini menembus level kota global. Kawasan elit di ibu kota dipatok sekitar 9.000 poundsterling per meter atau hampir Rp200 jutaan, setara dengan beberapa area premium di London.
Meski harga tanah sudah setara kota dunia, kemampuan beli warga Jakarta jauh berbeda. UMR Jakarta 2025 berada di kisaran Rp5,3 juta per bulan, jauh lebih rendah dibanding UMR London yang bila dirupiahkan mencapai Rp40 juta per bulan.
Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara harga aset dan daya beli masyarakat lokal. Tanah di Jakarta naik drastis karena permintaan tinggi, keterbatasan lahan, dan minat investor global.
Investor lokal maupun asing terus memburu properti di area elit, yang memicu harga tetap tinggi meski UMR warga jauh lebih rendah. Hal ini menimbulkan tantangan akses rumah dan tanah bagi masyarakat menengah.
Selain faktor ekonomi, lokasi strategis Jakarta membuat lahan premium semakin diminati. Dekat pusat bisnis, akses transportasi, dan fasilitas modern mendorong harga tanah tetap tinggi.
Kondisi ini berbeda jauh dengan London, di mana harga tanah tinggi sebanding dengan gaji dan daya beli warga lokal. Perbandingan ini menekankan ketimpangan pasar properti di Jakarta.
Pemerintah terus meninjau kebijakan tata ruang dan regulasi properti untuk menjaga keseimbangan pasar. Strategi pengendalian harga, pengembangan kawasan baru, dan subsidi hunian menjadi beberapa opsi yang dipertimbangkan.
Meskipun tantangan besar tetap ada, investasi properti di Jakarta dianggap menguntungkan. Investor melihat potensi capital gain tinggi karena permintaan terus naik dan lahan terbatas.
Analisis pasar menyebutkan, kenaikan harga tanah yang cepat tanpa diimbangi pertumbuhan pendapatan akan menekan kemampuan masyarakat membeli rumah. Ini bisa berdampak sosial jangka panjang.
Kesimpulannya, fenomena harga tanah Jakarta yang menyaingi kota global menunjukkan pertumbuhan properti yang pesat, tetapi ketimpangan daya beli tetap menjadi isu penting yang perlu diperhatikan.














