JAKARTA, Cobisnis.com – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan besar dari koalisi sayap kanan ekstrem di pemerintahannya, setelah mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendesak Israel untuk mengakhiri perang dua tahun di Gaza.
Netanyahu mendukung rencana 20 poin Trump yang menyerukan demiliterisasi Gaza dan menyingkirkan Hamas dari pemerintahan masa depan, namun tetap memberi kesempatan bagi anggota Hamas yang menyerahkan senjata dan menolak kekerasan untuk tetap tinggal.
Namun, usulan ini ditentang keras oleh mitra koalisi ultra-nasionalis seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Mereka menilai penerimaan sebagian terhadap Hamas akan menjadi “kesalahan fatal” dan mengancam keluar dari pemerintahan.
Jika para menteri garis keras itu menarik dukungan, pemerintahan Netanyahu yang merupakan paling kanan dalam sejarah Israel dapat runtuh setahun sebelum pemilu 2026. Di sisi lain, memperpanjang perang bisa memperburuk kemarahan keluarga sandera, masyarakat Israel yang lelah perang, serta hubungan dengan sekutu internasional.
Trump mendorong penghentian serangan udara Israel di Gaza agar negosiasi tidak langsung dengan Hamas dapat dimulai di Sharm el-Sheikh, Mesir. Rencana itu dimulai dengan pertukaran sandera dan tahanan, dilanjutkan dengan pelucutan senjata Hamas.
Sementara itu, juru bicara pemerintah Israel, Shosh Bedrosian, menyatakan bahwa meski beberapa serangan telah dihentikan, belum ada gencatan senjata resmi. Serangan udara Israel selama akhir pekan masih menewaskan puluhan warga Palestina.
Meski banyak tekanan, analis politik Israel memperkirakan pemerintahan Netanyahu tidak akan langsung runtuh. Oposisi yang dipimpin Yair Lapid bahkan menawarkan dukungan sementara demi menuntaskan rencana Trump dan menjaga stabilitas politik.














