JAKARTA, Cobisnis.com – Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan Inggris akan mencatat inflasi tertinggi di antara negara-negara G7 pada 2025. Angka inflasi diproyeksikan mencapai sekitar 3,5%, jauh di atas rata-rata kelompok negara maju tersebut.
Kenaikan harga makanan menjadi penyebab utama inflasi yang masih tinggi. Inggris, yang sangat bergantung pada impor pangan, menghadapi tekanan biaya akibat gangguan rantai pasok global, iklim, hingga faktor geopolitik.
Produk kebutuhan pokok seperti roti, susu, dan sayuran diprediksi tetap mahal. Hal ini menekan daya beli masyarakat dan membuat konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, berpotensi melemah.
Selain pangan, kenaikan iuran jaminan sosial pekerja turut memperburuk situasi. Biaya tambahan yang ditanggung perusahaan cenderung diteruskan ke harga barang dan jasa, sehingga mendorong inflasi semakin tinggi.
Proyeksi ini menandai bahwa inflasi di Inggris bersifat struktural, bukan sekadar dampak sementara dari gejolak global. Kebijakan domestik memiliki peran besar dalam menentukan arah inflasi ke depan.
Jika dibandingkan dengan negara G7 lain, posisi Inggris terlihat kurang menguntungkan. Amerika Serikat, Jerman, hingga Jepang diproyeksikan mampu menekan inflasi ke kisaran 2–3% pada periode yang sama.
Kondisi ini menimbulkan tantangan besar bagi Bank of England. Suku bunga acuan harus dipertahankan ketat untuk mengendalikan inflasi, namun langkah tersebut juga bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Investor global kini mencermati risiko dari inflasi Inggris. Poundsterling berpotensi mengalami volatilitas tinggi, sementara pasar obligasi bisa tertekan oleh meningkatnya ekspektasi suku bunga.
Bagi pemerintah, menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan keberlanjutan pertumbuhan menjadi prioritas. Reformasi struktural dibutuhkan agar Inggris dapat keluar dari jeratan inflasi tinggi yang berkepanjangan.
Secara keseluruhan, proyeksi OECD ini memberi sinyal bahwa Inggris masih menghadapi jalan panjang dalam mengendalikan inflasi. Tanpa langkah kebijakan yang tepat, risiko pelemahan daya beli dan perlambatan ekonomi bisa semakin membesar.














