JAKARTA, Cobisnis.com – Ahmad Dani Virsal, Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS), memberikan penjelasan terkait penyebab perusahaan mencatatkan kerugian sebesar Rp 450 miliar sepanjang tahun 2023. Ini merupakan penurunan signifikan sebesar 143 persen dibandingkan dengan laba tahun sebelumnya yang mencapai Rp 1 triliun. Menurutnya, faktor utama dari kerugian ini adalah penurunan produksi serta penurunan harga timah di pasar global yang signifikan. Situasi ini mengakibatkan pendapatan PT Timah menurun, yang pada gilirannya mempengaruhi laba perusahaan.
“Meskipun beban peak atau biaya puncak tetap stabil, pendapatan turun secara drastis karena produksi menurun, dan ditambah lagi penurunan harga jual timah, yang mengakibatkan pendapatan terjun bebas,” ujar Virsal dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI pada Selasa (2/4/2024).
Produksi bijih timah oleh PT Timah sepanjang tahun 2023 mencapai 14.885 ton, mengalami penurunan sebesar 26 persen dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 20.079 ton. Sementara produksi logam timah mencapai 15.340 ton, turun sebesar 23 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 19.825 ton. Di samping itu, harga rata-rata jual produk timah pada tahun 2023 adalah 26.583 dolar AS per metrik ton, menurun dari 31.474 dolar AS per metrik ton pada tahun 2022. “Penurunan harga jual ini terjadi karena adanya oversupply di pasar global,” tambahnya.
Penurunan produksi dan harga tersebut mengakibatkan penjualan PT Timah pada tahun lalu hanya mencapai 14.385 metrik ton, mengalami penurunan sebesar 31 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 20.805 metrik ton. Sebagai akibatnya, pendapatan perusahaan turun menjadi hanya sebesar Rp 8,39 triliun pada tahun 2023, mengalami penurunan sebesar 33 persen dari tahun 2022 yang mencapai 12,50 triliun. Sementara itu, aset PT Timah juga mengalami penurunan sebesar 1,6 persen menjadi Rp 12,85 triliun pada akhir tahun 2023 dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 13,06 triliun. Virsal menjelaskan bahwa penurunan aset disebabkan oleh penurunan stok dan nilai logam perusahaan.
Ekuitas perusahaan juga mengalami penurunan sebesar 11 persen menjadi Rp 6,2 triliun dari Rp 7,04 triliun. Sementara utang bunga sebesar Rp 3,48 triliun, mengalami kenaikan sebesar 26 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2,77 triliun. “Kenaikan utang bunga disebabkan oleh kesulitan arus kas sehingga membutuhkan pinjaman lebih besar, yang pada gilirannya juga mengakibatkan peningkatan suku bunga dari perbankan karena penurunan ekuitas dan aset. Akibatnya, kepercayaan perbankan juga menurun,” tutup Virsal.