Cobisnis.com – Backdoor listing atau menjadi anggota bursa dengan jalan membeli saham perusahaan yang terlebih dulu listing di bursa merupakan hal yang tidak dilarang.
Praktek itu merupakan cara paling mudah dan cepat bagi korporasi untuk masuk ke bursa tanpa perlu melewati berbagai persyaratan yang rumit untuk bisa mencatatkan sahamnya di bursa.
Perhatian terhadap backdoor listing kembali meningkat seiring dengan rencana aksi korporasi yang dijalankan emiten di bursa. Misalnya saja merger PT Indosat Tbk dengan Hutchison 3 Indonesia (Tri) yang diperkirakan bermuara pada backdoor listing bagi Tri yang saat ini bukan merupakan perusahaan terbuka.
Pengamat pasar modal Reza Priyambada menjelaskan backdoor listing umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan go public atau tidak mau perusahaannya dicampuri oleh masyarakat. “Namun tetap ingin mendapatkan akses ke bursa,” ujar Reza dalam sesi webinar kemarin di Jakarta.
Dia juga mengkritisi, belum adanya aturan yang jelas mengenai praktik backdoor listing di Indonesia. “Ini menimbulkan ketidakpastian apakah backdoor listing, khususnya yang dilakukan melalui akuisisi perusahaan publik, diperbolehkan menurut undang-undang di Indonesia,” katanya.
Lepas dari itu, ada persoalan mengemuka karena tidak adanya saringan seperti pada umumnya, backdoor listing kerap dipergunakan oleh para pemilik modal untuk memiliki saham gorengan.
Emiten yang telah dipoles menjadi korporasi baru itu umumnya sahamnya akan dikelola sehingga melonjak tinggi. Namun harga tinggi itu tidak akan bertahan cukup lama karena biasanya akan kembali turun.
Saham RIMO yang dimiliki oleh Benny Tjokro merupakan salah satu contoh backdoor listing yang kurang baik. Saat ini sahamnya terancam delisting karena telah disuspensi oleh BEI selama 12 bulan. Masyarakat yang memegang sahamnya kini tinggal gigit jari.
Memang tidak seluruhnya saham yang menggunakan mekanisme backdoor listing berujung buntung bagi investornya. Bisa saja emiten itu menjadi korporasi yang maju setelah mengubah core bisnisnya akibat dari backdoor listing.
Meski ada untung dan rugi, pengamat ekonomi dan keuangan Yanuar Rizky mengatakan bahwa perlindungan investor menjadi hal yang mutlak diberikan oleh otoritas bursa.
Kewajiban tender offer sebenarnya merupakan mekanisme yang bagus untuk melindungi kepentingan investor yang tidak setuju dengan rencana aksi korporasi melakukan backdoor listing.
“Peraturan OJK itu menegaskan situasi krisis 2008, di mana saat itu mandatory tender offer dicabut karena alasan krisis mempercepat corporate restructuring. Hingga saat ini regulasi tersebut tetap diberlakukan oleh OJK. Jadi, sekarang posisinya tidak tender offer, juga tidak apa-apa,” ujar Yanuar dalam kesempatan sama.
Penawaran Tender Wajib (tender offer) yang diatur dalam Peraturan OJK tersebut adalah penawaran untuk membeli sisa saham Perusahaan Terbuka yang wajib dilakukan oleh pemegang saham pengendali baru. Namun pada Pasal 23 POJK tersebut menyebutkan bahwa perubahan pengendali yang diakibatkan karena penggabungan usaha (merger) dikecualikan dari kewajiban Tender Offer.
Lepas dari kontroversi yang menyertai proses merger perusahaan yang berujung backdoor listing, Wakil Ketua Komisi VI Martin Manurung mengaku agak khawatir terhadap proses yang terjadi di Indosat dan Tri. Terutama kaitannya dengan kepemilikan saham pemerintah di Indosat yang saat ini tersisa 14,6%.
“Saya pribadi khawatir atas potensi terdilusinya persentase kepemilikan saham pemerintah di Indosat akibat merger dengan Tri. Untuk mencegah hal ini terjadi, pemerintah dapat menambah modal, lebih baik lagi kalau bisa menambah persentase kepemilikan saham. Akan tetapi, langkah ini kurang bijaksana bila dilaksanakan di tengah beban keuangan, vaksinasi, dan pemulihan ekonomi nasional yang berat,” ujarnya.
Jadi, perlu dikaji opsi-opsi apa saja yang tak membebani keuangan negara saat ini. Tentu hal ini menunggu proposal merger dari Tri dan Indosat.
Martin mengatakan hal lain yang perlu diperhatikan adalah dampak dari merger terhadap pengembangan teknologi 5G di Indonesia. Pandemi COVID-19 telah menunjukkan potensi ekonomi digital di Indonesia, dan negara harus mendukung pengembangan teknologi 5G. Bila merger Tri-Indosat dapat mempercepat transformasi infrastruktur digital, tentu sisi positif ini harus didukung.
Namun tentu saja dukungan itu tidak bisa lepas dari kondisi riil yang dihadapi saat ini yakni kepentingan masyarakat yang diwakili negara tetap terjamin dalam rangkaian merger dan konsolidasi industri. Potensi terjadinya dilusi kepemilikan saham negara di Indosat perlu mendapat perhatian.