Cobisnis.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong optimalisasi nilai tambah kulit buaya untuk menjadi produk kerajinan bernilai tinggi. Langkah ini merupakan bagian dari upaya Kemenperin membangkitkan potensi berbagai daerah di Indonesia melalui kegiatan produksi industri, khususnya meningkatkan nilai tambah sumber daya lokal guna memacu perekonomian masyarakat di daerah.
“Salah satunya yang kami pacu adalah Provinsi Papua, khususnya di Kabupaten Mamberamo Raya. Kabupaten ini dialiri oleh tiga sungai besar yang menjadi habitat asli buaya air tawar, yaitu Sungai Mamberamo, Sungai Tariku (Sungai Rouffaer) dan Sungai Taritatu (Sungai Idenburg),” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta, Jumat (1 Januari 2021).
Ada dua jenis buaya yang menghuni sungai tersebut, yakni buaya muara (Crocodile porossus) dan buaya Irian (Crocodile novaguinea). Kedua spesies buaya ini menjadi perburuan bagi masyarakat tradisional Papua, baik sebagai sumber protein untuk dikonsumsi, atau kulitnya dijual kepada pengepul dalam bentuk kulit mentah.
Sejak tahun 2018, Pemerintah Daerah Papua memang melegalkan pemasaran kulit buaya. Perizinan ini keluar karena kulit buaya dianggap sebagai kerajinan yang membanggakan dan merupakan aset daerah.
Walaupun sudah dilegalkan oleh pemerintah daerah, namun ada standar untuk usia buaya yang kulitnya bisa dimanfaatkan, yaitu berusia di atas satu tahun atau memiliki lebar perut 12 inchi.
“Hal ini juga untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan,” kata Doddy.
Kerajinan kulit buaya dikategorikan sebagai kerajinan kulit eksotik dan bernilai jual tinggi di pasar internasional. Kulit buaya yang telah disamak dapat diolah menjadi produk kulit dengan nilai jual yang sangat tinggi, mulai dalam bentuk dompet atau sabuk. Kulit eksotik diantaranya barang kerajinan dari kulit pari, ular, buaya, sisik ikan, dan masih banyak lagi.
Untuk kulit eksotik buaya, harga paling murah berkisar Rp300.000 hingga paling mahal bisa mencapai Rp30.000.000 untuk sebuah tas golf.
“Kualitas kulit buaya turut menentukan tingginya nilai jual, untuk itulah proses penyamakan kulit harus benar-benar diperhatikan,” jelas Doddy.
Melihat potensi ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Mamberamo Raya telah bersinergi dengan Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta. BBKKP merupakan salah satu badan litbang di bawah BPPI Kemenperin yang juga menjadi Pusat Unggulan Iptek (PUI) bidang kulit.
“Pengolahan kulit eksotik salah satunya ada di Papua, karena bahan baku kulit buaya yang cukup banyak dan bagus kualitasnya. Kami pernah mengadakan pelatihan di Kabupaten Mamberamo beberapa bulan yang lalu. Dalam pelatihan tersebut kami membimbing masyarakat untuk melakukan penyamakan kulit buaya serta membuat kerajinan dari kulit buaya,” kata Kepala BBKKP Agus Kuntoro.