Cobisnis.com – Sejumlah berita utama di berbagai media di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengangkat banyaknya kasus kekerasan rumah tangga (domestic violence) sejak terjadinya pandemi. Pemberitaan bervariasi tentang kekerasan rumah tangga menyatakan “kematian akibat kekerasan dalam rumah tangga meroket pada tahun 2020 selama Covid-19”.
Beberapa negara bagian mendapat sorotan, diantaranya: Alaska, Wisconsin, Ohio, Florida, dan Louisiana. Bagi masyarakat AS kabar tentang tren ini sangat mengganggu. Kebetulan Oktober merupakan Bulan Kesadaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violence Awareness Month) yang diperingati masyarakat AS.
“Tidak ada yang perlu menderita atau mati karena kekerasan dalam rumah tangga,” kata Maryann Mason, Ph.D., direktur Sistem Pelaporan Kematian Kekerasan di Illinois melalui kolom opininya yang dimuat The Hill, Jumat (23 Oktober 2020).
Yang lebih mengganggu adalah bahwa kasus-kasus “domestic violence” ini ternyata merupakan bagian dari pola sejarah yang berkelanjutan.
Setidaknya 5 juta tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi setiap tahun kepada perempuan di atas 18 tahun; 3 juta pria lainnya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga setiap tahun.
Kekerasan dalam rumah tangga berkaitan erat dengan bentuk kekerasan lainnya. Secara tradisional, pelecehan anak dianggap sebagai masalah terpisah, tetapi sekarang telah diterima bahwa pelecehan anak dan kekerasan dalam rumah tangga terkait dan telah menjadi prediktor kuat.
Yang kurang diakui adalah hubungan antara kekerasan komunitas dan (pengaruhnya terhadap) kekerasan dalam rumah tangga.
“Sebagai direktur Sistem Pelaporan Kematian dengan Kekerasan Illinois, saya telah melihat banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Mason.
“Yang paling mengguncang saya adalah ketika saya membaca kisah-kisah kejadian, di mana sebuah keluarga dekat menceritakan hubungan pelecehan yang panjang dan beraneka ragam antara korban dan pelaku.”
Seringkali, kata dia, seorang anak yang sudah dewasa, saudara kandung, atau orang tua melaporkan bahwa dirinya telah menyaksikan sebuah pola hubungan: di mana korban dituduh selingkuh, tidak diizinkan bekerja, tidak boleh meninggalkan rumah, menemui keluarga atau teman. Semua itu kemudian berkembang ke pelecehan fisik.
“Bukan hal yang aneh melihat kasus pembunuhan/bunuh diri ketika pelaku bunuh diri setelah membunuh orang yang mereka lecehkan.”
Selama ini, kata Mason, terlepas dari keterkaitan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, pendekatan penegakan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang mengikuti model kekerasan tradisional tidak berhasil.
Ia berpendapat bahwa solusi ke depan adalah dengan mengalihkan pendekatan kekerasan dalam rumah tangga dari insiden ke berbasis pola (termasuk membaca sejarah) bukanlah solusi yang cepat, “Tetapi menjanjikan,” tegasnya.