JAKARTA, Cobisnis.com – Pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan memberikan dampak langsung terhadap inflasi dan daya beli masyarakat di Indonesia. Pergerakan rupiah yang melemah sekitar 3 persen sejak awal 2025 menambah beban biaya impor, sehingga harga barang kebutuhan berpotensi meningkat.
Nilai tukar rupiah yang lebih lemah membuat barang impor menjadi lebih mahal. Sektor yang paling terdampak adalah energi, pangan, dan barang konsumsi yang bahan bakunya masih banyak bergantung pada impor. Kenaikan biaya ini mendorong inflasi melalui mekanisme imported inflation.
Importasi gandum, kedelai, gula, hingga BBM menjadi lebih mahal ketika rupiah tertekan. Kondisi ini menyebabkan harga roti, tahu, tempe, hingga bahan bakar di dalam negeri rentan mengalami kenaikan. Dengan gaji masyarakat yang tidak meningkat secepat harga, daya beli otomatis menurun.
Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyumbang terbesar PDB nasional akan terpengaruh. Masyarakat cenderung menahan belanja untuk barang sekunder dan tersier, sehingga berdampak pada penjualan ritel, otomotif, hingga sektor elektronik.
Bank Indonesia menegaskan pelemahan rupiah saat ini masih dalam kendali. Intervensi pasar valas dilakukan secara selektif untuk mencegah gejolak berlebihan. Namun, otoritas moneter tetap mengakui tekanan eksternal, terutama dari kebijakan suku bunga tinggi The Federal Reserve.
Di sisi lain, pelemahan rupiah juga memberi peluang positif bagi eksportir. Produk Indonesia menjadi relatif lebih murah di pasar global, sehingga lebih kompetitif. Komoditas unggulan seperti batubara, CPO, karet, dan nikel berpotensi meraih permintaan lebih tinggi.
Namun, keuntungan dari ekspor ini tidak serta-merta dirasakan langsung oleh konsumen dalam negeri. Harga barang kebutuhan pokok tetap berpotensi naik, sehingga tekanan terhadap daya beli masyarakat masih lebih dominan dibandingkan manfaat jangka pendek dari peningkatan ekspor.
Dampak pelemahan rupiah juga dirasakan oleh pelaku industri yang bergantung pada mesin dan bahan baku impor. Biaya produksi naik, margin keuntungan tergerus, dan sebagian pelaku usaha bisa memilih menaikkan harga jual untuk menutup selisih. Hal ini kembali mendorong inflasi.
Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan dengan menahan harga barang tertentu, terutama pangan dan energi, melalui subsidi. Namun, kebijakan ini membutuhkan anggaran besar dan tidak bisa berlangsung selamanya, sehingga reformasi struktural tetap diperlukan.
Dengan pelemahan rupiah yang berpotensi menekan daya beli, menjaga inflasi tetap terkendali menjadi kunci stabilitas ekonomi. Konsistensi kebijakan moneter, fiskal, dan dukungan bagi sektor riil diharapkan mampu menahan dampak negatif pelemahan kurs terhadap masyarakat luas.














