Cobisnis.com – Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja, mengatakan eksportir Indonesia baru memanfaatkan 20 persen fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang diberikan Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia.
Saat ini, kata Shinta, banyak produk Indonesia yang tidak bisa menyesuaikan syarat untuk mendapatkan fasilitas GSP tersebut. Menurut dia, produk yang diberikan fasilitas GSP kebanyakan barang setengah jadi (semi-processed input product) untuk industri-industri AS yang proporsi preference-nya paling besar di GSP.
Sebaliknya Indonesia lebih banyak mengekspor barang konsumsi (consumer goods) atau pun barang mentah (raw materials) ke AS.
“Industri dalam negeri perlu lebih banyak mengekspor semi-processed input products, seperti komponen elektronik, permesinan, kendaraan, atau pun raw materials lain untuk industri-industri di AS seperti bahan kimia, panel kayu, dan tembakau,” ujar Shinta, Selasa (3 November 2020).
Produk perikanan dan pertanian serta turunannya, mulai dari produk makanan dan minuman hingga produk turunan dari minyak sawit mentah, dinilai sangat berpotensi untuk diekspor dengan memanfaatkan GSP.
Syaratnya Indonesia harus bisa memenuhi standar pasar AS.
Secara umum produk-produk yang mendapatkan fasilitas tersebut adalah kerajinan, perhiasan emas dan perak, dan karet untuk ban kendaraan besar. Produk seperti elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, dan sepeda tidak mendapatkan fasilitas tersebut.
“Pemerintah perlu melakukan diseminasi kepada publik tentang 3.572 pos tarif yang bisa mendapatkan fasilitas GSP,” kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, dilansir Tempo, Selasa (3 November 2020).
Menurut dia, jika pemerintah melakukan diseminasi publik, eksportir bisa langsung cari pembeli. Adapun pembeli dalam menentukan beli atau tidak itu dasarnya harganya itu sudah masuk bea masuk atau landed duty paid.
Produk Indonesia masih berpeluang mendapatkan pasar AS yang saat ini belum tersentuh GSP. Menurut Benni, diperlukan investasi untuk memproduksi barang setengah jadi, tapi kemampuan lembaga pembiayaan dalam negeri untuk membiayai investasi itu masih minim.
“Kenapa kita mengundang investor luang karena kita tidak memiliki kemampuan untuk men-support investasi,” ujar Benny.
Duta Besar RI untuk AS, Muhammad Lutfi, mengatakan total ekspor produk Indonesia yang memanfaatkan fasilitas GSP nilainya US$ 2,63 miliar. Dari 3.572 pos tarif yang mendapatkan fasilitas, hanya 729 pos tarif yang dimanfaatkan eksportir atau sebesar 20,4 persen.
Lutfi yakin jumlah ekspor ke AS akan terus meningkat karena trennya yang masih positif. Ia mencatat nilai ekspor ke AS periode Januari-Agustus 2020 senilai US$ 11,8 miliar atau naik 1,22 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.