JAKARTA, Cobisnis.com – Trend bisnis digital sedang digemari masyarakat Indonesia saat ini. Dari kondisi itu, sebenarnya ada potensi besar yang bisa memberikan alternatif tambahan pendapatan negara, selain dari indusutri real yang sudah mendapat dukungan pemerintah secara signifikan. Potensi pendapatan negara dari dunia digital saat ini belum makasimal termanfaatkan
Hal ini disoroti oleh AP Santosa, pelaku trading. Menruutnya, jika Indonesia ingin maju di industri ini, maka tidak boleh dibiarkan autopilot. Tapi harus ada perhatian pemerintah agar peluang tersebut tidak berbalik menjadi bahaya bagi masyarakat Indonesia. Peluang mendapatkan pemkasukan negara berupa pajak melalui edukasi, pameran dan sebagainya.
“Sehingga peluang ini tidak dimanfaatkan oknum broker atau penghimpun dana yang bisa merugikan masyarakat secara luas, seperti yang banyak terjadi belakangan ini. Kemudian dananya balik ke negara yang lebih besar lagi,” kata AP Santosa, Kamis (31/3/2022).
AP Santosa, trader yang sudah 15 tahun berkecimpung di bidang derivatif di Indonesia itu juga menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi keuangan negara.
“Saya melihatnya bahwa perputaran uang di dunia Forex di atas 6 T USD/hari. Data ini bisa dicek sampai dengan Juni 2021. Tentu sebagai pembanding cadangan devisa negara Indonesia 130 M USD per 2021. Sedangkan perdagangan derivativ bukan hanya forex saja, tetapi mencakup metal, energy, index, crypto dan sebagainya,” bebernya.
Sebagai gambaran, seperti diungkapkan Kementerian Perdagangan (21 Juni 2021), jumlah investor Crypto sekarang ini ada 6,5 juta orang dengan dana Rp 370 T (kira-kira 26 M USD, 20 % Cadangan Devisa Negara RI. Bisnis di dunia digital untuk derivativ berjangka ini mencakup tidak hanya crypto, ada forex, index, metal, energy, komoditi berbagai hal dan lain sebagainya.
“Sayangnya, sekarang belum digarap optimal saja sudah mulai ada, apalagi kalau Pemerintah dukung mesti lebih bagus lagi pertumbuhannya. Nah, ini merupakan kekuatan masyarakat sebagai investor lokal atau dalam negeri untuk berinvestasi secara langsung. Menurut hemat saya, bisnis future derivativ nilainya juga besar. Bahkan bisa lebih besar dibanding dari dunia real,” ulas AP Santosa.
Pada bagian lain disebutkan pula kelebihan dari industri keuangan digital. Antara lain bisa mengikuti perkembangan bisnis digital dengan cepat dan anak-anak Milenial (karena bonus demografi Indonesia) dapat ikut berkembang di bisnis ini. Juga industri ramah lingkungan plus tidak merusak kesehatan masyarakat sehingga tidak memboroskan anggaran negara untuk BPJS, pajak yang diberikan ke negara diharapkan bisa lebih besar serta sesuai perkembangan zaman dimana dunia digital tambah maju untuk generasi anak cucu kita.
“Semua kelebihan-kelebihan di atas akan menjadi kekurangan atau bahaya bagi negara kita. Juga untuk generasi kita dan mendatang, apabila kita tidak mengantisipasi dari awal secara nasional. Masalah yang timbul dari perusahan penerima dana masyarakat. Pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi di Indonesia dan kita bisa bertahan karena didukung UMKM sektor real. Tahun 2019 terjadi pademi Corona virus di dunia, ekonomi Indonesia bertahan didukung UMKM sektor digital/dunia maya dan bahkan terus berkembang sampai sekarang, Januari 2022,” katanya.
Namun sejak pandemi COVID-19 sekitar dua tahun belakangan, menurut dia lagi, kini sedang trend broker yang di Indonesia yang diekspose oleh influncer flexing (pura-pura sukses padahal nol besar). Mereka lewat YouTube melalui program crazy rich yang sukses lewat trading dengan mempromosikan broker tertentu.
Bahkan broker-broker tersebut tak memiliki izin dari Bapepti/OJK/KBI. Semua cara dilakukan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Timbul masalahnya nanti berupa dana yang tidak dibayarkan ke masyarakat, karena skema ponzi, broker bodong – kemudian baru ditutup oleh Bapepti/Kepolisian setelah makan korban berupa uang masyarakat.
“Usaha yang mirip kini tengah banyak beredar yakni berupa jual robot trading online dengan MLM, koperasi. Contohnya kasus Indosurya dengan kerugian masyarakat mencapai Rp 14 triliun. Belum investasi Cripto bodong, penipuan sampai Rp 109 T (7.7 M USD) di dunia. Akibatnya sekarang ada beberapa kelompok orang yang mencoba bikin Crypto tanpa blockchain, tujuannya hanya untuk menghimpun dana masyarakat. Pertanyaannya, apa yang akan terjadi setelah dana masyarakat mereka dapatkan?” Begitu ucap AP Santosa.
Saat inipun banyak investor dari Indonesia yang berinvestasi di broker luar negeri, karena memiliki kelebihan beberapa hal seperti spread kecil, komisi nol, free swab, free tax, lot dibuka tanpa pembatasan dari 0.01 sampai 1000. Padahal, negara Indonesia sendiri sekarang juga sangat butuh investor dalam negeri.
“Oleh karenanya harus dicarikan solusi secara umum. Perlu edukasi ke masyarakat, bisa lewat pameran, pendidikan tentang trading derivativ future beserta risikonya secara jelas. Lembaga Bapepti sesuai UU No.10 Tahun 2011 harus aktif mendorong karena perdagangan derivative sangat besar nilainya. Broker atau perusahaan yang menerima dana masyarakat harus punya deposit, supaya tidak gagal bayar,” sarannya.
Ditambahkan AP Santosa, tentu saja sesuai member, minimal mencapai triliunan rupiah. Karena apa? Dana yang dihimpun juga besar. Mungkin hanya perlu penyempurnaan PP-nya dan agar nilainya relevan dengan keadaan sekarang atau kalau belum ada ya perlu segera dibuatkan PP-nya. Adakan kompetisi trader supaya masyarakat yang sudah teredukasi antusias turut di bisnis ini. Yang paling penting adalah tetapkan angka pajak finalnya sesuai UU yang ada, UU Cipta Kerja halaman 623 – 2 – C dengan PP atau Keppres.
Sebagai penutup atau kesimpulan, menurut dia lagi, apabila masyarakat Indonesia sudah teredukasi dengan baik tentang peluang perdagangan future derivativ, maka dampaknya diharapkan perekonomian negara Indonesia tambah maju dan devisa bertambah. Begitu pula jika masyarakat aktif menguasai perdagangan derivativ dan Indonesia kuat di bidang ini, maka kekayaaan negara yang sudah dikumpulkan, tidak tergerus karena perdagangan saham. Perusahaan lokal pun akan dikuasai oleh rakyat Indonesia.
“Namun jika sebaliknya, negara tidak hadir, kemampuan ekomomi masyarakat secara luas akan tergerus. Dampaknya pun tidak baik, karena salah satu sifat masyarakat kita punya kebiasaan ikut-ikutan, suka dibohongi, apalagi kalau yang bohong itu influencer flexing,” pungkas AP Santosa.