JAKARTA, Cobisnis.com – Pemerintah memutuskan menutup keran impor beras industri dan beras khusus pada 2026. Kebijakan ini diambil meski pada 2025 masih ada kuota impor 443,9 ribu ton. Keputusan ini berdasar pada klaim swasembada beras, namun menimbulkan kekhawatiran sektor industri olahan.
Keran impor yang ditutup mencakup beras pecah (menir) sebagai bahan baku tepung beras dan bihun, serta varietas tertentu seperti Basmati dan Jasmine. Bahan baku ini memiliki spesifikasi berbeda dengan beras konsumsi lokal sehingga tidak bisa sepenuhnya digantikan.
CIPS menilai keputusan tanpa pertimbangan data industri yang akurat dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha. Alih-alih menyederhanakan tata kelola komoditas, Neraca Komoditas justru menghadapi kendala birokrasi serupa sistem sebelumnya.
Penutupan impor beras industri dipandang berisiko meningkatkan biaya produksi. Jika pasokan domestik tidak memadai, harga produk pangan olahan diprediksi naik pada 2026, berdampak langsung pada konsumen.
Keterlambatan penetapan Neraca Komoditas 2026 juga menjadi sorotan. Dokumen resmi diumumkan 16 Desember 2025, padahal Perpres Nomor 7 Tahun 2025 mengharuskan selesai paling lambat 7 Desember 2025. Keterlambatan ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha.
CIPS menyarankan pemerintah mengkaji ulang data kebutuhan beras industri dengan melibatkan pelaku usaha. Tujuannya agar kebijakan swasembada pangan tidak menekan industri hilir dan tetap menjamin ketersediaan bahan baku.
Sistem impor yang ada dinilai masih kaku dan belum berbasis data teknis akurat. Reformasi diperlukan agar mekanisme impor bisa merespons kebutuhan industri secara cepat dan fleksibel.
Pemerintah menegaskan keputusan ini diambil karena Indonesia dianggap sudah swasembada pangan. Rapat koordinasi tingkat menteri di Kemenko Pangan pada 16 Desember 2025 dihadiri Menteri Koordinator Pangan, Menteri Perdagangan, dan Kepala BPS.
Kementerian Perindustrian sebelumnya mengajukan impor 380.052 ton beras industri untuk 2026. Namun pengajuan ditolak dengan alasan kebutuhan dapat dipenuhi dari produksi domestik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terbatasnya pasokan untuk industri pangan olahan.
CIPS menekankan pentingnya penyusunan kebijakan berbasis mekanisme pasar dan data akurat. Hal ini diharapkan dapat menjamin stabilitas harga pangan olahan serta menjaga daya saing industri nasional.














