COBISNIS.COM-Memasuki era kenormalan baru, setiap bidang usaha dan sektor industri mulai bersiap untuk beradaptasi dalam proses interaksi sosial maupun operasionalnya. Bagi sektor industri padat karya seperti Industri Hasil Tembakau (IHT), momentum ini perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian. Karena, belakangan sektor ini tengah digempur dengan berbagai kebijakan yang restriktif, dimana salah satu yang paling memberatkan adalah mandat terkait IHT dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM memfasilitasi forum untuk mengkaji arah kenormalan baru bagi regulasi IHT dalam seri webinar Bincang Komoditas Perdagangan Indonesia. Agenda ini dihadiri oleh berbagai pengambil kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan IHT di Indonesia, antara lain Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Perindustrian, GAPPRI, dan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI).
Sebagai informasi, RPJMN 2020-2024 yang disahkan pada bulan Februari lalu mengandung banyak klausul yang kontraproduktif terhadap pengembangan IHT. Di bidang non-fiskal, RPJMN mengamanatkan revisi Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 yang menekankan pada perluasan gambar kesehatan hingga 90%, melarang iklan dan promosi rokok, dan mengetatkan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. Di bidang fiskal, restriksi tercermin pada adanya agenda penyederhanaan struktur tarif CHT dan peningkatan tarif CHT yang diprediksi bakal menurunkan pangsa pasar tembakau hingga 15%.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menuturkan pihaknya telah memprediksi akan ada penurunan signifikan akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi COVID-19 yang belum usai. “Pada tahun 2020 ini, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan tahun 2019 atau sekitar Rp 165 triliun, sementara penurunan volume produksi dari IHT justru akan turun 13-23%. Saat ini di tengah kenormalan baru, GAPPRI berharap pemerintah tidak akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang justru menghambat recovery industry seperti kenaikan cukai, simplifikasi struktur cukai, dan revisi PP 109/2012. Pemerintah diharapkan membantu sepenuhnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan pabrikan baik secara kualitas, kuantitas, varietas dan kontinuitas,” pungkasnya.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto menyatakan, klaim bahwa pengenaan cukai bisa menurunkan prevalensi perokok anak dan konsumsi makanan yang berisiko kesehatan dianggap tidak tepat sasaran. “Hendaknya pemerintah tidak melihat isu kesehatan secara sempit. Justru yang harus dikuatkan adalah peningkatan pengawasan dan penegakan disiplin atas distribusi dan akses masyarakat terhadap produknya. Perbanyak edukasi, sosialisasi ke tingkat akar rumput agar konsumen paham bahwa produk tembakau hanya bisa dikonsumsi orang dewasa. Saya kira pemerintah sudah jelas mengatur di PP 109 Tahun 2012 untuk produk tembakau dan aturan ini sudah lebih dari cukup, tugas selanjutnya adalah memastikan implementasi di lapangan berjalan tertib, jangan terus merevisi poin saja tapi praktiknya nihil,” tegasnya.
Dalam paparannya, Maharani Hapsari Co Chair-holder UGM-WTO Chair Program menuturkan, sektor IHT kerap menjadi entitas yang harus menerima aturan-aturan restriktif dengan peluang yang sangat minim untuk dapat mengajukan keringanan. Hal ini terjadi karena dalam proses pembuatan kebijakan untuk IHT, ada banyak prosedur yang tidak transparan sehingga berpotensi pada praktik pelanggaran, antara lain: (1) kurangnya transparansi informasi kepada seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan; (2) ketiadaan proses partisipatif.
“Argumen tentang adanya tendensi prinsip keterbukaan yang diabaikan salah satunya berangkat dari studi kasus kami yakni perumusan rencana revisi PP 109 Tahun 2012. Dalam hal ini, para pelaku IHT tidak mendapat transparansi ketika membahas poin-poin restriksi. Faktanya, sampai saat ini, belum benar-benar ada kata mufakat di antara stakeholders yang berkepentingan, seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, komunitas rantai pasok IHT, dan Kementerian Perindustrian,” tutur Maharani.