Jakarta, COBISNIS.COM – Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Indonesia ternyata telah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan kepatuhan dan pentingnya membayar pajak. Bahkan, mereka menyatakan siap mengikuti kebijakan serta insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku UMKM. Namun, akibat rendahnya literasi dan pemahaman perhitungan perpajakan, kontribusi pelaku UMKM terhadap penerimaan pajak masih rendah.
Hal ini sesuai dengan hasil temuan riset DDTC FRA yang dituangkan di dalam dokumen “Policy Notes, Tinjauan dan Rekomendasi Kebijakan atas Pelaksanaan Kewajiban Pajak UMKM dalam Ekosistem Digital: Perspektif dan Suara dari Pelaku UMKM.”
Tingginya kesadaran akan pajak tersebut tercermin dari mayoritas UMKM wajib pajak yang menyatakan bahwa pajak merupakan sarana kontribusi terhadap negara. Namun, di sisi lain, kontribusi PPh final UMKM masih sangatlah rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tahun 2019, kontribusi PPh final UMKM adalah sebesar Rp. 7,5 triliun, atau hanya sekitar 1,1 persen dari total penerimaan PPh secara keseluruhan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan, Pemerintah dalam hal ini DJP terus melakukan berbagai strategi dan upaya untuk meningkatkan literasi pajak bagi UMKM.
Upaya tersebut dilakukan antara lain melalui kolaborasi dengan tax center yang ada di perguruan tinggi di Indonesia. Di tax center inilah DJP melibatkan para mahasiswa menjadi relawan pajak yang bertugas memberikan edukasi pajak dan membantu pengisian SPT para Wajib Pajak, termasuk UMKM. Maret 2022, jumlah tax center di Indonesia telah ada sebanyak 336 tax center.
“Selain itu, DJP juga memiliki program khusus UMKM yang disebut Business Development Services (BDS). BDS digalakkan melalui workshop, pelatihan kewirausahaan, seminar, kelas pajak tematik, serta layanan informasi dan asistensi kepada UMKM.,” kata Neilmadrin.
Ke depan, lanjut Neilmadrin, DJP akan berusaha berkolaborasi dengan pelaku platform digital seperti marketplace untuk meningkatkan literasi pajak UMKM. Terlebih, melalui perubahan di pasal 32A UU HPP, nantinya dimungkinkan penunjukan marketplace untuk memungut pajak atas transaksi yang dilakukan di marketplace. “Kita tahu, mayoritas penjual di marketplace adalah UMKM. Untuk itu perlu edukasi juga, baik kepada platformnya maupun UMKM-nya,” ungkap Neilmadrin.
Riset dari DDTC FRA juga menemukan akibat dari kurangnya literasi serta pengetahuan dari UMKM, sebanyak 61% pelaku UMKM belum memanfaatkan fasilitas PPh final 0,5 persen. Selain itu, masih banyak juga pelaku UMKM yang hanya mengetahui. Namun, belum memahami ketentuan yang melekat dengan kewajiban pajak serta terhambat oleh kompleksitas ketentuan pajak, terutama terkait penghitungan.
Ketua Umum UMKM Naik Kelas, Raden Tedy menjelaskan banyak UMKM lokal yang belum berkembang signifikan, misalnya mereka belum paham betul cara membuat laporan keuangan hingga mengurus perizinan. “Rendahnya angka partisipasi pajak dari sektor UMKM dapat dikarenakan minimnya kemampuan dan pengetahuan mereka tentang perpajakan,” tambah Raden Tedy.
Terkait hal ini, Kepala Tax Center Universitas Gunadarma, Beny Susanti mengatakan bahwa DJP memiliki peranan yang sangat penting, terutama terkait literasi dan edukasi. Tidak adil apabila pihak lain, seperti platform ecommerce, yang lebih optimal dalam memberikan literasi dan edukasi. Sebelum berbicara lebih jauh terkait mekanisme potong pungut, hendaknya pemerintah terlebih dahulu memenuhi hak utama UMKM, yaitu mendapatkan literasi dan edukasi yang baik tentang sistem perpajakan.
“UMKM bukan tidak mau bayar pajak, namun ada faktor lain, seperti sistem atau merasa kesulitan, Atau kita kembali ke definisi pajak. Saya bayar pajak itu, saya dapat apa secara langsung, enggak ada. Tiba-tiba dipotong pajaknya, nah edukasi ini yang perlu kita sampaikan secara masif, ” tambah Beny Susanti.
Perlu diketahui, dalam surveinya DDTC FRA turut memberikan beberapa masukan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan serta partisipasi para pelaku UMKM dalam sistem perpajakan di Indonesia.
Yang pertama, dibutuhkan transformasi administrasi pajak berupa peningkatan pelayanan petugas dan optimalisasi kolaborasi multistakeholder. Selanjutnya, simplifikasi kebijakan pajak dan sistem yang dinilai masih sangat kompleks oleh para pelaku UMKM. Terakhir, DDTC FRA juga merekomendasikan optimalisasi literasi pajak di mana sebagian besar responden pelaku UMKM mengatakan peningkatan literasi perpajakan penting mengingat saat ini pengetahuan mereka masih sangat terbatas.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan sebelumnya juga telah membuat sejumlah kebijakan agar penerimaan negara melalui UMKM dapat terserap secara optimal. Sebut saja Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 yang memberikan keistimewaan peraturan perpajakan terhadap UMKM.
Misalnya, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari yang sebelumnya 1 persen menjadi 0,5 persen berdasarkan penghasilan brutonya. Selain itu, pemerintah juga telah membebaskan PPh untuk UMKM perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp 500 juta per tahun melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).