NUSA DUA, Cobisnis.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, secara resmi membuka 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 and 2026 Price Outlook yang digelar di Bali, 13-14 November 2025.
Dalam keynote speech yang disampaikan secara virtual, Menko Airlangga menegaskan bahwa industri kelapa sawit tetap menjadi pilar utama perekonomian Indonesia sekaligus motor penggerak transisi energi bersih nasional.
Dalam pidatonya, Airlangga menyampaikan bahwa Indonesia terus menunjukkan ketahanan ekonomi meski menghadapi perlambatan ekonomi global. Pada kuartal III 2025, ekonomi Indonesia tumbuh 5,04 persen dengan kontribusi kuat dari sektor manufaktur, perdagangan, dan pertanian.
Konsumsi rumah tangga, investasi domestik yang mencapai Rp 1.434,3 triliun, serta inflasi stabil pada 2,86 persen, menjadi indikator solidnya fundamental ekonomi nasional.
“Pemerintah terus mempertahankan kebijakan counter-cyclical untuk menjaga momentum pertumbuhan,” ujar Airlangga.
Menko Airlangga menegaskan bahwa industri sawit tetap menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Per September 2025, neraca perdagangan mencatat surplus 4,34 miliar dolar AS, ditopang ekspor sawit yang menembus 28,55 juta ton sepanjang Januari–September.
India dan Tiongkok masih menjadi pasar utama, sementara Jepang dan Selandia Baru menunjukkan peningkatan permintaan signifikan.
Pemerintah juga memperkuat penerapan sertifikasi ISPO dan mengembangkan sistem informasi ISPO untuk meningkatkan transparansi, real-time tracking, serta daya saing global industri sawit Indonesia.
Airlangga menekankan peran strategis sawit dalam agenda energi bersih nasional. Program biodiesel B40 akan ditingkatkan menjadi B50 pada semester II 2026, dengan potensi pengurangan emisi hingga 41,46 juta ton CO₂ ekuivalen.
Pemerintah juga menyiapkan pengembangan sustainable aviation fuel (SAF) berbasis sawit yang ditargetkan dapat mulai digunakan dalam 2–3 tahun mendatang.
Airlangga mengajak seluruh pemangku kepentingan memperkuat hilirisasi sawit untuk menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, dan memperkuat industri nasional.
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menyoroti pesatnya ekspansi sawit dari 0,1 juta hektare pada 1950 kini menjadi 17 juta hektare. Ia mengingatkan perlunya pengelolaan yang hati-hati agar tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan pangan.
Dalam visi Indonesia Emas 2045, industri sawit diposisikan sebagai antara lain motor energi terbarukan, penyokong ketahanan pangan global, pencipta jutaan lapangan kerja hijau, serta fondasi bagi industri hilir seperti biofuel, oleokimia, dan green manufacturing.
Dia menilai, industri sawit dinilai sebagai tulang punggung yang menyokong ketahanan pangan global, energi terbarukan, penciptaan jutaan lapangan kerja hijau, serta fondasi bagi industri hilir seperti biofuel, oleokimia, dan green manufacturing.
Dalam visi 2045, menjadi negara berpendapatan tinggi, menghapus kemiskinan, memperkuat kepemimpinan global, dan mencapai net-zero 2060, sektor sawit diposisikan sebagai model transformasi berkelanjutan yang mendukung SDGs sekaligus mendorong pembangunan pedesaan dan pemerataan kesejahteraan.
Lebih lanjut, kata Rachmat, peta jalan sawit masa depan harus menempatkan keberlanjutan, keadilan, dan diplomasi sebagai pilar utama.
Indonesia telah membuktikan komitmennya melalui kemenangan di WTO dalam sengketa diskriminasi sawit, penguatan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), reforma regulasi, serta modernisasi dan pemberdayaan petani kecil agar mampu bersaing dalam rantai pasok global.
Ia menegaskan bahwa sawit bukan hanya komoditas, tetapi “jembatan kemanusiaan” yang harus terkelola secara adil, berkelanjutan, dan setara dalam diplomasi global.
“Sehingga pada 2045, industri ini menjadi simbol kerja sama global, bukan kontroversi,” tegas Rachmat.
Dari sisi diplomasi, Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, menyoroti dinamika global industri perkebunan, termasuk kebijakan resiprokal tarif Amerika dan tantangan persaingan pasar.
Ia mengungkap potensi besar ekspor produk turunan sawit Indonesia ke Nigeria, serta menekankan bahwa standar keberlanjutan harus bersifat universal, bukan menguntungkan satu kawasan saja.
Arif Havas mengkritisi European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan internasional, membebani petani kecil, menciptakan diskriminasi terhadap negara berkembang, dan berpotensi melanggar keadilan sosial dalam rantai pasok.
“Prinsip universal menjadi hukum internasional. Maka standarnya pun harus berlaku secara universal. Bukan berarti standar pengelolaan sawit negara barat (Eropa) lebih baik, dan ASEAN tidak. Sebab seharusnya European Union Deforestation Regulation (EUDR) memiliki standar yang sama,” kata Arif.
Sebagai solusi, Arif Havas mengusulkan mekanisme komunikasi yang telah terbukti melalui pengalaman Indonesia–Uni Eropa dalam perjanjian FLEGT-VPA di sektor kehutanan. Ia merekomendasikan pembentukan Licensing Information Unit di Indonesia sebagai pintu komunikasi resmi bagi otoritas Eropa untuk memverifikasi asal-usul dan status keberlanjutan produk, dengan data tetap disimpan di Indonesia.
Mekanisme serupa, menurutnya, dapat direplikasi untuk EUDR melalui integrasi antara dashboard nasional Indonesia dan sistem EUDR, sehingga verifikasi dapat berjalan tanpa membebani petani kecil dan tanpa melanggar kedaulatan data.
Dengan pendekatan ini, implementasi EUDR dapat menjadi lebih adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keberlanjutan internasional.
Produktivitas & Hilirisasi: Kunci Masa Depan Sawit Nasional
Plt Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Abdul Roni Angkat, menyampaikan bahwa industri sawit nasional kini mencakup 16,38 juta hektare, dengan 42 persen dikelola oleh pekebun rakyat. Industri ini menyerap 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas, pemerintah mempercepat Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan reformasi regulasi besar-besaran seperti penyederhanaan persyaratan dari 14 syarat menjadi 2 syarat, verifikasi dipangkas dari tiga tahap menjadi satu tahap, integrasi proses melalui sistem digital nasional.
“Penyederhanaan PSR merupakan langkah nyata memudahkan pekebun dan mempercepat peremajaan,” ujarnya.
Seiring meningkatnya kebutuhan domestik untuk minyak goreng dan biodiesel, pemerintah mendorong hilirisasi sawit melalui pembangunan fasilitas biodiesel, DMO minyak goreng, margarin, bio propylene glycol, serta unit pengolahan inti di berbagai provinsi seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan.
Program hilirisasi diproyeksikan menciptakan ratusan ribu lapangan kerja baru dan meningkatkan kontribusi sawit terhadap PDB nasional.














