JAKARTA, COBISNIS.COM – Periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tinggal menyisakan kurang dari dua bulan. Salah satu warisan yang akan ditinggalkan kepada pemerintahan berikutnya adalah utang pemerintah yang mengalami peningkatan signifikan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah terus bertambah setiap bulan, seiring kebutuhan untuk menutupi defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hingga 31 Juli 2024, total utang pemerintah mencapai Rp 8.502,69 triliun, setara dengan 38,68 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Selama dua periode kepemimpinan Jokowi, utang pemerintah meningkat sekitar Rp 5.894 triliun dalam kurun waktu hampir 10 tahun. Dibandingkan dengan posisi sebelum era Jokowi, utang pemerintah telah melonjak sekitar 225 persen, lebih dari tiga kali lipat.
Lonjakan ini terutama terjadi pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19 melanda, di mana utang bertambah Rp 1.295,9 triliun, sehingga rasio utang terhadap PDB meningkat dari 29,80 persen pada 2019 menjadi 38,68 persen pada 2020.
Kebutuhan belanja negara yang tinggi, terutama untuk perlindungan sosial dan penanganan Covid-19 di tengah terhentinya aktivitas ekonomi, memaksa pemerintah untuk menarik utang dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan rasio utang pemerintah meningkat hingga 41 persen pada 2021.
Namun, laju pertumbuhan utang kemudian melambat, dengan rasio utang turun menjadi 39,57 persen pada 2022 dan kembali turun ke 38,59 persen pada 2023.
Meskipun pemerintah mengklaim bahwa posisi utang masih terjaga sesuai dengan batas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yang menetapkan batas rasio utang sebesar 60 persen, tantangan besar tetap ada.
Berdasarkan Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah periode 2023-2026, target rasio utang adalah 40 persen, namun realisasi per Juli 2024 masih di angka 38,68 persen.
Beban utang ini akan menjadi tanggung jawab pemerintahan mendatang, dengan kewajiban membayar bunga, cicilan, dan pelunasan utang yang semakin besar.
Pagu anggaran belanja untuk pembayaran bunga utang dalam Rancangan APBN 2025 diproyeksikan mencapai Rp 552,9 triliun, meningkat sekitar 10,8 persen dari perkiraan pembayaran bunga utang pada tahun ini sebesar Rp 499 triliun. Dibandingkan dengan tahun 2020, pagu belanja bunga utang telah melonjak lebih dari Rp 200 triliun.
Peneliti senior dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan bahwa peningkatan kewajiban pembayaran utang ini akan mengurangi kemampuan pemerintah dalam belanja produktif. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintahan berikutnya dalam menjaga kestabilan ekonomi dan mengelola keuangan negara secara efektif.







