Cobisnis.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) terus berupaya melakukan transformasi digital untuk memperkuat engagement kepada nasabah eksisting dan calon nasabah baru. Salah satu yang dilakukan adalah menggiatkan edukasi dan literasi kepada nasabah dan IPO workshop yang telah dilakukan sepenuhnya secara daring (online).
“Ada 3500 aktivitas edukasi online yang dilakukan hingga akhir Agustus 2020. Dengan diikuti total hampir 800 ribu peserta,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen, dalam sesi virtual Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2020, Rabu (21 Oktober 2020).
Edukasi dan literasi, kata dia, semakin dibutuhkan karena pertumbuhan investor ritel yang signifikan sejak masa pandemi Covid-19. Setidaknya terdapat pertumbuhan sebesar 30% investor baru tahun ini.
Dari 3,2 juta investor, terdapat 1,3 juta investor khusus untuk pasar modal. Sedangkan dampaknya juga terasa pada kontribusi transaksi harian pasar modal.
“Kontribusi investor ritel domestik sebesar 43% dalam setiap transaksi harian. Ini naik dibandingkan hanya 37% dari akhir tahun 2019 lalu,” ujarnya.
Berdasarkan data dari pihak Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah SID investor mencapai 3,28 juta pada akhir September 2020. Kenaikan jumlah investor terjadi di tengah pandemi COVID-19, yang telah berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Selain itu, jumlah perusahaan yang telah mendapatkan pernyataan efektif untuk melakukan penawaran umum perdana saham (IPO) pada 2020, saat ini telah mencapai 45 emiten.
Jumlah itu, baik saham maupun efek bersifat utang dan sukuk, dengan total nilai emisi yang mencapai Rp7,1 triliun.
“Penambahan jumlah emiten tersebut juga merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan seluruh negara di kawasan ASEAN,” jelasnya.
Sentimen Jangka Pendek
Terpisah, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan, mengatakan secara jangka pendek memang ada beberapa faktor yang membebani sentimen pasar seperti: Pilpres dan negosiasi stimulus fiskal Amerika Serikat serta meningkatnya kasus Covid-19 global.
Di pasar domestik pun ada faktor ketidakpastian terkait kebijakan burden sharing BI dan wacana pembentukan Dewan Moneter.
“Terlepas dari sentimen jangka pendek tersebut, dalam pandangan kami pasar saham dan obligasi masih memiliki potensi ke depannya didukung oleh kebijakan reflasi global,” ujar Katarina.
Reflasi disebutnya merupakan kebijakan untuk menstimulasi ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter akomodatif yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi, mendorong belanja, dan mencegah deflasi.
“Ini merupakan kebijakan pro-ekonomi yang berpotensi menekan tingkat suku bunga dan meningkatkan selera investasi terhadap aset berisiko, termasuk pasar saham dan obligasi negara berkembang,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, penanganan Covid-19 juga tetap menjadi kunci pemulihan ekonomi. Kabar positifnya adalah pengembangan vaksin Covid-19 terus berlanjut.
“Saat ini sudah ada 10 vaksin yang masuk tahap uji klinis fase ketiga. Ini fase terakhir sebelum tahap approval dan produksi,” ujarnya.