JAKARTA, Cobisnis.com – Kasus Korban gagal bayar yang dialami oleh anggota Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Sejahtera tak kunjung mendapat titik terang dari pemerintah.
Diketahui, kasus penggelapan dana anggota Koperasi Sejahtera Bersama diduga telah menjerat kurang lebih 186 ribu korban dari seluruh Indonesia dengan tingkat kerugian mencapai dengan Rp 8 triliun.
Ketua Bidang Penjaminan Kredit UMKM & Koperasi RGC FIA Universitas Indonesia Diding S Anwar melihat beberapa koperasi merugikan masyarakat hingga ratusan triliun rupiah karena berbagai hal. Salah satunya karena lemahnya faktor pengawasan koperasi.
“Kelemahan dalam pengawasan koperasi menjadi salah satu sebab KSP menimbulkan kerugian. Ada kekurangan sumber daya pengawasan. Banyak pengawas koperasi memiliki beban tugas yang berat dan terbatas dalam hal sumber daya, seperti tenaga dan anggaran,” ungkap Diding di Jakarta Rabu (8/2/2023).
Dia juga mengatakan selain kurangnya pengawasan juga ada faktor kurangnya edukasi dan pelatihan. Sementara diperlukan adanya sertifikasi keahlian. Khususnya terkait pengelolaan koperasi yang menjadi syarat mengisi pengurusan koperasi.
“Banyak pengawas koperasi tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk melakukan pengawasan yang efektif. Sehingga yang terjadi adalah konflik kepentingan. Ada potensi konflik kepentingan antara pengawas koperasi dan koperasi yang diawasi. Baik itu terkait bisnis atau hubungan personal. Banyak kasus koperasi yang dipermainkan oleh pengurus lainnya karena kurangnya kompetensi,” katanya.
Lebih lanjut, Pengawasan KSP di dalam Undang-undang Pengembangan dan penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) bukan hanya akan diawasi oleh OJK, namun juga akan diawasi oleh Kemenkop UKM. Lalu, diatur pula soal denda dan sanksi pidana bagi pelaku yang menimbulkan kerugian bagi KSP.
“Harus ada sanksi tegas terhadap pelaku KSP yang bermasalah. Kurangnya sanksi yang efektif, sanksi yang diterapkan pada koperasi yang melanggar aturan mungkin tidak efektif dan tidak menjamin perlindungan bagi masyarakat. Kalau seandainya pengurus memahami sebagaimana mestinya dan paham GCG tentu akan mengurangi dan dapat mencegah tindak pidana dan kerugian yang berpotensi lebih besar”, lanjutnya.
UU P2SK berkaitan dengan pengawasan Koperasi di bawah OJK, berkaitan dengan kegiatan koperasi di sektor jasa keuangan (kegiatan usaha simpan pinjam), diatur dalam Bab XIII Pasal 44B.
“Koperasi lahir di Indonesia bahkan di dunia sudah sejak awal didirikan atas dasar dari Anggota, oleh Anggota, dan untuk Anggota. Sejatinya Koperasi tidak melayani selain Anggota. Koperasi yang melayani selain Anggota berarti menyimpang dari aturan, seharusnya tinggal ditegakkan sanksinya terhadap koperasi yang nakal”, ujar Diding.
Selain itu masih kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Banyak koperasi tidak memiliki sistem akuntansi yang transparan dan terintegrasi. Sehingga membuat sulit para pengawas untuk melacak dan mengontrol aktivitas koperasi.
“Semua faktor ini bisa membuat pengawasan koperasi menjadi lemah dan memberikan ruang bagi koperasi untuk melakukan praktik yang merugikan masyarakat”, pungkasnya.