JAKARTA, Cobisnis.com – Ekonomi dan Keuangan negara sejak lama dalam kondisi kritis. Indikatornya sederhana. Pertama, neraca transaksi berjalan sejak lama mengalami defisit terus menerus. Dan jumlahnya semakin besar. Artinya, dolar dalam negeri terkuras mengalir keluar negeri untuk bayar defisit tersebut.
Kondisi ini seharusnya membuat kurs rupiah melemah. Tetapi, kurs rupiah malah menguat. Bukan karena ekonomi Indonesia membaik. Bukan karena fundamental ekonomi Indonesia menguat. Tetapi, karena pemerintah menjalankan akrobat ekonomi: magiconomics.
Yaitu menutupi defisit transaksi berjalan dengan cara menarik utang dari luar negeri, untuk mengganti dolar yang terkuras karena defisit neraca transaksi berjalan. Abracadabra, kurs rupiah memang menguat. Karena doping.
Kedua, penerimaan pajak semakin memburuk. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun terus ke tingkat yang sangat kritis, sudah di bawah 8 persen dari PDB. Pada akhir Maret 2020, rasio penerimaan pajak terhadap PDB bahkan hanya 7,14 persen.
Kondisi keuangan seperti ini tidak bisa bertahan lama. Lambat laun akan menghadapi masalah serius. Alias tinggal menunggu waktu saja untuk menjelma menjadi resesi.
Penerimaan pajak yang rendah membuat defisit anggaran APBN membengkak, dari Rp226,7 triliun pada 2014 menjadi Rp353 triliun pada 2019. Tahun ini, defisit anggaran akan melonjak drastis melebihi Rp1.000 triliun.
Akibatnya, utang pemerintah semakin menggunung dan tentu saja membebani APBN. Kewajiban membayar bunga pinjaman terus membengkak, dari Rp133,4 triliun pada 2014 menjadi Rp275,5 triliun pada 2019. Dan selama Januari hingga Mei 2020, beban bunga pinjaman sudah membengkak lagi menjadi Rp145,7 triliun. Diperkirakan beban bunga pinjaman tahun ini bisa mencapai Rp350 triliun.
Dengan demikian, rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak juga meningkat drastis. Pada akhir Mei 2020 sudah mencapai 27,7 persen. Artinya, setiap Rp100 penerimaan pajak dari masyarakat, Rp27,7 digunakan untuk membayar bunga pinjaman.
Sehingga bisa memicu krisis APBN. Karena pengeluaran untuk belanja lainnya tidak tersisa banyak. Dan sebagian (besar) pembayaran bunga pinjaman tersebut mengalir ke luar negeri. Sehingga semakin menekan defisit neraca transaksi berjalan.
Kondisi keuangan negara seperti digambarkan di atas secara teknis dapat dikatakan bangkrut. Dan pandemi Corona akan mempercepat kebangkrutan ini. Karena pandemi Corona membuat utang pemerintah, dan beban bunga pinjaman, meroket.
Meskipun kelihatannya pandemi Corona telah “menyelamatkan” keuangan Indonesia, melalui penerbitan Perppu (Peraturan Presiden pengganti Undang-Undang) No 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi undang-undang (UU No 2/2020). Karena Perppu membolehkan APBN mengalami defisit tanpa batas selama 3 tahun, hingga tahun 2022.
Padahal, sebaliknya. Perppu Corona mempercepat keuangan negara masuk ke jurang kebangkrutan. Dalam tiga tahun ini hingga 2022, defisit APBN akan melonjak tajam. Karena pemerintah akan memanfaatkan Perppu yang kontroversial tersebut semaksimal mungkin. Artinya, defisit anggaran dan utang pemerintah akan meningkat drastis.
Di lain sisi, penerimaan pajak tertekan terus. Membuat rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak meningkat. Rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak tahun ini bisa tembus 30 persen.
Pada tahun 2022, beban bunga pinjaman bukan mustahil melebihi 35 persen dari penerimaan pajak. Karena selain utang yang membengkak, tarif pajak penghasilan (PPh) badan turun dari 25 persen pada 2019 menjadi 22 persen pada tahun ini, dan turun lagi menjadi 20 persen pada 2021 dan 2022. Untuk perusahaan besar yang sudah tercatat di bursa, tarif pajaknya bahkan lebih rendah lagi.
Pada 2023 dan seterusnya, defisit anggaran kembali dibatasi menjadi 3 persen dari PDB. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi berpotensi melambat, bahkan stagnan. Penerimaan pajak anjlok. Resesi ekonomi lanjutan mengintai.
Penulis:
Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)