JAKARTA, Cobisnis.com – Lembaga riset IFG Progress mengumumkan hasil kajiannya. Berdasarkan sebuah studi pada tahun 2005 yang mengulas lebih dari 300 penelitian termasuk studi kasus banyak negara di seluruh dunia, Ross Levine, Profesor dari Brown University dan Universitas California Berkeley di Amerika Serikat, mengkonfirmasi hubungan positif antara
pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sektor keuangan. Studi tersebut juga menunjukan
bahwa stabilitas sektor keuangan merupakan hal yang sangat penting dalam menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi riil. Penetrasi sektor
keuangan yang diukur melalui persentase terhadap PDB merupakan kondisi yang diperlukan (a necessary condition), tapi tidak cukup (not a sufficient condition) untuk menjamin stabilitas
dan ketahanan terhadap potensi guncangan (shocks). Ekosistem sektor keuangan yang relatif berimbang antara penetrasi dari sektor perbankan dan non-perbankan merupakan faktor
penentu dari stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan.
Selama pandemi Covid-19, banyak negara maju dan berkembang termasuk Indonesia, mengadopsi strategi kebijakan makroekonomi dimana pengamanan sistem keuangan dan kinerja sektor keuangan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pemulihan
ekonomi nasional secara kesuluruhan. Koordinasi antara kebijakan perpajakan dari Kementerian Keuangan, makroprudensial dari Bank Indonesia dan standar kehati-hatian serta pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan berhasil mendorong pemulihan dari sisi permintaan melalui kinerja sektor riil, khususnya pada sektor otomotif dan properti. Koordinasi tersebut
sekaligus menjaga kapasitas dan likuiditas sektor perbankan untuk mempertahankan suplai kredit.
Hasilnya, kredit perbankan kembali tumbuh pada bulan Juni-September 2021, ditengah loncatan tinggi gelombang kedua dari penyebaran Covid-19, setelah sebelumnya terkontraksi dari Oktober 2020-Mei 2021.
Kedepannya, tantangan struktural bagi sektor keuangan Indonesia adalah mendukung ekonomi Indonesia menjadi bagian dari negara maju dunia pada tahun 2045. Sebagaimana dinyatakan dalam laporan Bappenas pada tahun 2019, visi jangka menengah-panjang pemerintah adalah menjadikan ekonomi Indonesia menjadi salah satu dari 5 perkonomian
terbesar dunia pada tahun 2045. PDB nominal diperkirakan akan mencapai lebih dari USD 7 triliun, dengan PDB per kapita lebih dari USD23,000 pada tahun 2045. Mendorong PDB perkapita Indonesia menjadi 5 – 6 kali lebih besar dari posisi saat ini dalam waktu sekitar 25t ahun jelas merupakan proyek besar.
Target waktu sekitar dua dekade tersebut utamanya disebabkan oleh faktor demografi Indonesia. Berdasarkan data United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA), Indonesia akan memasuki periode aging-population pada tahun 2038, dimana penduduk berusia 65 tahun ke-atas menjadi bagian besar dari populasi.
Sebelum biaya demografi menjadi besar, perekonomian Indonesia diharapkan sudah menjadi perekonomian negara maju dan siap menanggung beban demografi tersebut. Sektor keuangan memiliki peran sangat fundamental untuk mendukung ambisi besar pemerintah, dan pada saat bersamaan menghadapi tantangan demografi ini. Jika kita mengacu pada pengalaman dari beberapa negara yang telah mencapai PDB per kapita antara USD20,000—USD50,000 (Exhibit 1), rata-rata penetrasi sektor keuangan mereka sekitar 460% dari PDB. Pada tahun 2020, total aset sektor keuangan Indonesia ada di sekitar 115% dari PDB, level yang relatif kecil untuk ekonomi negara G-20 dan bahkan lebih rendah dari banyak sektor keuangan negara berkembang lainnya, seperti Malaysia (410% dari PDB) dan Brazil (245% dari PDB).
Exhibit 1. Sektor Keuangan & PDB Per Kapita Selain faktor size (% total aset dari PDB), fitur utama dari sektor keuangan adalah kestabilannya dalam menyediakan pembiayaan yang dibutuhkan dalam mendukung kegiatan perekonomian. Meskipun sektor perbankan tetap dominan di negara-negara maju seperti
yang ditunjukkan pada Exhibit 1, sektor keuangan di luar perbankan juga mengalami pertumbuhan aset yang pesat. Berbeda dengan dominasi sektor perbankan yang sangat menonjol di Indonesia, sektor keuangan non-perbankan di negara maju telah tumbuh menjadi sumber pendanaan yang kuat dan bahkan lebih besar dari sektor perbankan. Pada saat Bank terus memainkan peran khusus dalam sistem keuangan, lembaga keuangan non-bank seperti
sektor asuransi, dana pensiun, dan pasar modal tidak hanya memfasilitasi perbankan untuk memperhitungkan risiko investasi dan lainnya, tetapi juga menyediakan fasilitas untuk
hedging (lindung nilai).
Selanjutnya, jika dilihat lebih dalam, sektor asuransi telah menjadi investor yang cukup besar di pasar keuangan. Secara keseluruhan, perusahaan asuransi jiwa di Indonesia pada akhir 2020 mengalokasikan hingga 88% dari total aset investasinya pada instrumen pasar modal dengan mayoritas penempatan pada produk reksadana dan sekitar 6,8% dalam bentuk
deposito di perbankan. Pada waktu yang sama, investasi asuransi jiwa di Surat Berharga Negara (SBN) juga meningkat. Peran penting lain dari asuransi yang belum banyak diketahui publik adalah melindungi kredit sektor perbankan.
Di Indonesia, total premi asuransi kredit
perbankan sekitar Rp13 trilliun pada akhir tahun 2019. Pada sebagian besar negara maju seperti: Amerika, Australia dan banyak negara di Eropa serta Asia Timur, sektor asuransi berperan penting dalam menjaga stabilitas konsumsi rumah tangga dan investasi sektorswasta.
Mayoritas telah mengasuransikan berbagai macam risiko termasuk investasi bagi
korporasi, kesehatan, edukasi dan aset individu. Di Indonesia, konsumsi rumah tangga dan investasi swasta mempunyai besaran 85%-90% dari total PDB.
Selain itu, peran dana pensiun dan pasar modal juga sangat penting sebagai sumber
pendanaan domestik yang besar. Di negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia dan
Singapura, dana pensiun menjadi sumber dana untuk strategi investasi jangka panjang, baik di sektor riil maupun juga di keuangan. Dana pensiun yang besar juga terbukti dapat menjaga stabilitas pasar utang (debt market) domestik dan menjaga biaya pinjaman baik pemerintah
maupun swasta.
Semakin besar dana pensiun, semakin kecil ketergantungan suatu perkonomian terhadap pendanaan luar negeri (terutama dalam bentuk portfolio investment)
untuk pembiayaan fiskal dan investasi dalam negeri. Sebagai sumber pendanaan dalam negeri, dana pensiun dapat menjadi jangkar penting dari stabilitas neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran, yang pada akhirnya berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah.
Kesimpulannya, berdasarkan pengalaman negara-negara maju, fitur penting dari
pertumbuhan ekonomi mereka adalah penetrasi sektor keuangan yang tidak hanya besar tapi juga berbasis luas, dimana ada perimbangan antara peran perbankan dan sektor keuangan
non-perbankan. Pengalaman negara-negara maju tersebut menunjukan pentingnya peran sektor asuransi, dana pensiun dan pasar modal yang kuat untuk tidak hanya menjaga stabilitas sektor perbankan dan sektor keuangan, tapi juga untuk keseluruhan kondisi
makroekonomi domestik.