NUSA DUA, Cobisnis.com – Program biodiesel Indonesia dipastikan menjadi elemen kunci dalam transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Prof. Eniya Lestiani Dewi, menegaskan bahwa kebijakan biodiesel tidak hanya berfokus pada pengurangan impor solar, tetapi juga memperkuat ketahanan energi nasional, meningkatkan nilai tambah kelapa sawit, serta mendorong pembangunan ekonomi pedesaan.
“Program biodiesel adalah jembatan strategis antara sektor energi dan pertanian. Ia tidak hanya mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga melibatkan jutaan tenaga kerja di wilayah pedesaan,” ujar Prof. Eniya di gelaran IPOC 2025 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kamis (13/11/2025).
Menurutnya, fondasi kebijakan biodiesel Indonesia dibangun melalui regulasi yang komprehensif. Pemerintah telah menetapkan mekanisme harga dan skema insentif untuk menutup selisih antara biodiesel dan solar, sehingga pelaku industri tetap dapat beroperasi secara berkelanjutan.
Selain itu, mandat pencampuran ditetapkan melalui Kebijakan Energi Nasional dan aturan teknis Kementerian ESDM yang menjamin alokasi, distribusi, dan kepastian pasokan biodiesel.
Sebelum implementasi setiap tahap, dilakukan uji teknis menyeluruh dan penyusunan pedoman penanganan B100 serta campuran bahan lainnya untuk memastikan standar kualitas dan kesiapan infrastruktur.
Pemerintah juga memperkuat ekosistem industri biodiesel melalui kolaborasi antara produsen, distributor, dan terminal BBM, agar distribusi berlangsung stabil dan merata di seluruh Indonesia.
Realisasi program B35 dan persiapan menuju B40 telah memberikan hasil yang nyata, antara lain penghematan devisa, penurunan emisi gas rumah kaca, dan peningkatan kapasitas produksi nasional yang diproyeksikan melampaui 22 juta kiloliter pada 2026.
Meski demikian, Prof. Eniya mengingatkan bahwa keberlanjutan program biodiesel masih memerlukan penguatan di beberapa aspek.
“Kita perlu meningkatkan ketelusuran, memperkuat infrastruktur distribusi, mempercepat replanting bagi petani kecil, dan memastikan keselarasan dengan standar keberlanjutan global,” jelasnya.
Kementerian ESDM kini menyiapkan arah kebijakan menuju B50, tahap lanjutan dari program biodiesel nasional. Keberhasilan menuju B50, kata Eniya, bergantung pada kepastian mandat pencampuran, diversifikasi bahan baku termasuk pemanfaatan limbah dan minyak jelantah, serta peningkatan teknologi mutakhir seperti Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) dan peningkatan kualitas Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
Selain itu, dukungan pendanaan riset dan inovasi teknologi dinilai penting untuk menjaga daya saing biodiesel Indonesia di pasar global.
“Pengembangan biodiesel harus berjalan beriringan dengan diplomasi perdagangan dan penguatan narasi positif tentang keberlanjutan sawit Indonesia. Ini adalah bagian dari ekosistem energi masa depan, berdampingan dengan bioethanol, SAF, HVO, bio-CNG, hingga kendaraan listrik,” tutur Eniya.
Dengan kebijakan yang semakin matang dan terintegrasi, Indonesia semakin menegaskan posisinya sebagai pelopor energi hijau di kawasan dan dunia.













