Cobisnis.com – Analis intelijen dan keamanan dari Universitas Indonesia (UI) Stanislas Riyanta menilai wacana pemblokiran media sosial (medsos) telah menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melakukan kontra narasi melawan hoax dan disinformasi.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Kominfo yang mengatur pemblokiran medsos.
“Iya, pemerintah sangat lemah dalam melakukan kontra narasi. Bahkan yang paling dasar seperti komunikasi publik juga masih lemah. Tampak belum ada yang fokus dalam mengelola isu-isu yang perlu di-kontra,” kata Stanislaus kepada wartawan Cobisnis.com, Jumat (23 Oktober 2020).
Isu sebenarnya, menurut Stanislaus, bukanlah pembatasan medsos-nya, tapi upaya pemerintah dalam melakukan kontra narasi yang gagal sehingga publik bisa sebenarnya berhak mendapatkan konten yang berimbang dan valid.
Kecuali jika konten pada medsos sudah menjurus pada ancaman seperti provokasi SARA, ujaran kebencian dan lain-lain, maka secara hukum pemilik dan penyebar konten dapat ditindak sesuai hukum yang berlaku. Memang harus diakui terdapat perbedaan tipis antara kritis dan provokasi.
“Kebebasan berpendapat harus dilindungi, tetapi dalam menggunakan hak tersebut tentu tidak boleh kebablasan, termasuk berpendapat yang cenderung provokatif dan ujaran kebencian,” ujarnya.
Pengamat Komunikasi dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, sependapat bahwa komunikasi publik pemerintah sangat buruk. Itu terjadi karena dua hal. Pertama, setiap kementerian berpikir parsial dalam mengelola informasi publik berdasarkan persepsinya masing-masing.
Masing-masing menteri menyampaikan informasi publik yang sama dengan substansi berbeda. Akhirnya menteri satu sibuk meluruskan pernyataan menteri lainnya.
“Selain membingungkan masyarakat juga menggerus kredibilitas pemerintah,” ujarnya.
Kedua, juru bicara presiden tidak kredibel dan kemampuan komunikasinya jelek. Seandainya juru bicara presiden dinilai kredibel dan cara berkomunikasinya baik, tentu informasi publik yang disampaikan lebih diterima masyarakat.
“Minimal tidak langsung terjadi penolakan bila yang menyampaikan informasi publik dari sosok yang kredibel,” kata Jamaluddin.