JAKARTA, Cobisnis.com – Inflasi di Indonesia menunjukkan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan berkelanjutan. Fenomena ini menyebabkan nilai uang menurun karena jumlah uang yang sama membeli lebih sedikit barang dibanding sebelumnya.
Salah satu contohnya, harga beras meningkat dari Rp10.000/kg menjadi Rp12.000/kg dalam satu tahun. Kenaikan ini tercermin dalam Indeks Harga Konsumen (IHK) yang menjadi tolok ukur inflasi nasional.
Dampak paling langsung dirasakan masyarakat berupa penurunan daya beli. Misalnya, gaji Rp5 juta per bulan sebelumnya cukup membeli 100 kg beras, kini hanya mampu membeli sekitar 83 kg.
Perubahan pola konsumsi pun terjadi. Masyarakat mulai memilih barang lebih murah atau mengurangi jumlah konsumsi untuk menyesuaikan anggaran rumah tangga.
Inflasi juga berdampak pada tabungan dan investasi. Tabungan dengan bunga rendah nilainya menurun, mendorong masyarakat mencari alternatif investasi yang mampu mengimbangi inflasi, seperti emas, properti, atau saham.
Selain itu, inflasi moderat bisa merangsang konsumsi karena orang cenderung membeli barang sebelum harga naik lebih tinggi. Hal ini memicu aktivitas ekonomi dalam jangka pendek.
Namun, inflasi tinggi atau hiperinflasi bisa mengganggu stabilitas ekonomi. Kepercayaan masyarakat terhadap mata uang menurun, dan daya beli masyarakat semakin tertekan.
Perekonomian nasional juga terdampak karena konsumsi masyarakat menurun jika inflasi tidak terkendali. Hal ini dapat memperlambat pertumbuhan sektor riil dan mengurangi investasi.
Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan memantau perkembangan inflasi dengan ketat. Kebijakan moneter, seperti penyesuaian suku bunga, diterapkan untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat.
Pentingnya literasi ekonomi juga disorot agar masyarakat memahami dampak inflasi dan dapat mengambil keputusan finansial yang tepat, termasuk memilih instrumen tabungan dan investasi yang aman.














