JAKARTA, Cobisnis.com – Pasar properti China tengah menghadapi tekanan serius setelah harga rumah di berbagai wilayah terus menurun dalam dua tahun terakhir. Ribuan unit hunian berdiri tanpa penghuni, sementara proyek perumahan baru banyak yang terhenti di tengah jalan.
Selama puluhan tahun, properti menjadi instrumen investasi utama masyarakat China. Rumah dibeli bukan hanya untuk ditinggali, tetapi juga disimpan sebagai aset untuk dijual kembali saat harga naik, bahkan tak sedikit warga memiliki lebih dari satu unit.
Masalah mulai muncul ketika pengembang besar seperti Evergrande dan Country Garden terjerat krisis utang. Model bisnis yang bergantung pada penjualan awal untuk membiayai proyek baru runtuh saat permintaan melemah.
Akibatnya, ribuan proyek perumahan di berbagai kota besar dan menengah terbengkalai. Warga yang sudah membayar uang muka dan mencicil kredit perumahan terpaksa menanggung beban untuk rumah yang tak kunjung rampung.
Fenomena ini melahirkan kawasan yang dikenal sebagai “kota hantu”. Gedung apartemen menjulang, jalan lebar terbentang, pusat perbelanjaan berdiri, namun aktivitas warga sangat minim karena banyak unit tak berpenghuni.
Sebelum krisis, sektor properti menyumbang sekitar 25–30 persen terhadap perekonomian China jika dihitung bersama industri turunannya. Ketika sektor ini terguncang, efek domino langsung dirasakan oleh banyak sektor lain.
Industri baja, semen, hingga perbankan ikut tertekan akibat melambatnya pembangunan. Bank menghadapi risiko kredit macet karena sebagian debitur kesulitan melanjutkan cicilan di tengah turunnya nilai aset properti.
Dari sisi sosial, tekanan ekonomi ini turut memengaruhi generasi muda. Anak muda semakin ragu membeli rumah karena harga masih dianggap tinggi, sementara peluang kerja di sektor konstruksi dan properti ikut menurun.
Pemerintah China telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meredam tekanan, mulai dari pelonggaran kredit perumahan, dukungan likuiditas untuk pengembang tertentu, hingga stimulus bagi pembeli rumah pertama.
Namun pemulihan pasar properti diperkirakan tidak berlangsung cepat. Kepercayaan publik yang sempat tumbuh selama puluhan tahun kini perlu waktu untuk kembali pulih di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Krisis properti ini juga menjadi perhatian dunia karena China masih tercatat sebagai ekonomi terbesar kedua di global. Perlambatan di sektor ini berpotensi memengaruhi harga komoditas, arus investasi asing, serta stabilitas pasar keuangan internasional.














