JAKARTA, Cobisnis.com – Seorang hakim federal di Amerika Serikat pada Sabtu (4/10) memblokir sementara langkah Presiden Donald Trump untuk mengerahkan 200 pasukan Garda Nasional Oregon ke kota Portland, hingga gugatan hukum terkait kebijakan tersebut selesai diproses di pengadilan.
Putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Distrik AS Karin Immergut di Portland ini menjadi pukulan bagi Trump, yang berupaya mengirim pasukan militer ke sejumlah kota yang ia sebut “tidak tertib” meski ditentang para pemimpin dari Partai Demokrat.
Immergut yang ironisnya merupakan hakim yang diangkat Trump pada masa jabatan pertamanya menilai tidak ada bukti bahwa protes baru-baru ini di Portland telah mencapai tingkat pemberontakan atau secara serius mengganggu penegakan hukum. Ia menunda pengerahan pasukan setidaknya hingga 18 Oktober mendatang.
“Penilaian Presiden jelas tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” tulis Immergut dalam keputusannya.
Menurut pengacara negara bagian Oregon, unjuk rasa di kota tersebut justru “kecil dan damai”, dengan hanya 25 penangkapan pada pertengahan Juni dan tidak ada penangkapan dalam lebih dari tiga bulan terakhir.
Gedung Putih melalui juru bicara Abigail Jackson menyatakan akan mengajukan banding. “Presiden Trump menjalankan kewenangan hukum untuk melindungi aset dan petugas federal di Portland setelah kerusuhan yang disertai kekerasan. Kami yakin keputusan ini akan dibatalkan di pengadilan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Wali Kota Portland, Keith Wilson, menegaskan dalam konferensi pers bahwa kotanya aman dan menilai narasi tentang kekacauan hanyalah rekayasa politik.
Sementara itu, gugatan hukum yang diajukan Jaksa Agung Oregon, Dan Rayfield, menuduh Trump melanggar hukum federal serta hak kedaulatan negara bagian. Ia menilai keputusan mengirim pasukan Garda Nasional ke kota-kota yang dipimpin Demokrat, seperti Portland, merupakan pelanggaran terhadap Amandemen ke-10 Konstitusi AS.
Immergut menambahkan bahwa meskipun presiden memiliki kewenangan luas dalam keputusan militer, “ia tidak dapat mengabaikan fakta di lapangan.” Ia memperingatkan bahwa menerima argumen Trump berarti membiarkan presiden “mengirim pasukan ke mana saja, kapan saja,” yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan militer di Amerika Serikat.














