JAKARTA, Cobisnis.com – Film epik “Kokuho,” yang mengisahkan setengah abad perjalanan hidup seorang aktor kabuki fiksi, menjadi fenomena di Jepang dan dunia. Sementara dalam ceritanya kabuki digambarkan perlahan surut dari budaya populer, di dunia nyata film ini justru memantik minat baru terhadap seni panggung berusia 400 tahun tersebut.
Kabuki sendiri tengah berjuang di Jepang. Data Japan Arts Council menunjukkan penonton di Teater Nasional menurun drastis dan belum pulih sejak pandemi. Jumlah murid yang mendaftar untuk menjadi aktor kabuki juga sangat sedikit sebuah tanda bahwa regenerasi talenta sedang melemah.
Namun kehadiran “Kokuho” mengubah momentum tersebut. Diadaptasi dari novel laris karya Shuichi Yoshida dan disutradarai Lee Sang-il, film ini mencetak rekor sebagai film live action Jepang dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa, meraih 111 juta dolar AS selama enam bulan tayang. Setelah memulai debut di Festival Film Cannes, “Kokuho” kini menjadi wakil Jepang untuk kategori Best International Feature Film di Oscar.
Minat publik terhadap kabuki terlihat melonjak. Saat aktor kabuki ternama Nakamura Ganjiro IV dan sang sutradara hadir di Teater Nasional September lalu, 2.200 orang berebut 100 kursi tersedia. Japan Arts Council pun bergerak cepat, membagikan brosur program Kabuki 2026 di bioskop, membuat kampanye media sosial, hingga menggelar pertunjukan pengenalan dengan harga tiket lebih terjangkau.
Daya tarik film ini berasal dari paduan drama panggung dan sinema. Ryo Yoshizawa, pemeran utama, menjalani pelatihan 1,5 tahun untuk memerankan Kikuo termasuk berbulan-bulan mempelajari “suriashi,” teknik berjalan khas kabuki. Film ini menyisipkan ringkasan cerita kabuki di layar, membantu penonton baru memahami konteks drama, sekaligus menyorot keindahan panggung yang menjadi inti seni tersebut.
Bagi sutradara Lee, kesuksesan “Kokuho” menegaskan adanya kerinduan publik pada karya yang indah dan penuh dedikasi. Ia bahkan menggabungkan estetika teater ke dalam adegan kehidupan sehari-hari di film, menciptakan suasana seperti opera modern yang tak terikat panggung.
Cerita berakhir pada 2014, memperlihatkan perjalanan Kikuo yang penuh ambisi dan konsekuensi emosional. Di dunia nyata, keberlanjutan kabuki tetap bergantung pada generasi baru. Japanese Arts Council telah memperluas akses dengan kelas pemula, program keluarga, tiket diskon untuk usia di bawah 30 tahun, hingga panduan bahasa Inggris.
Sekolah Pelatihan Teater Nasional juga menyebut banyak pendaftar baru tahun ini yang mengaku tertarik pada kabuki setelah menonton “Kokuho,” menandakan dampak nyata film tersebut pada minat publik.














