JAKARTA,Cobisnis.com- Saya sebagai sahabat sering dan rutin diundang di kediaman untuk bicara masalah sosial politik bersama dengan banyak tokoh, seperti Komarudin Hidayat, Heri Akhmadi, Faisal Basri, dan sutradara Garin Nugroho, dan lain-lain. Dari situ saya mengetahui bahwa Arifin Panigoro adalah seorang pengusaha yang mempunyai jalinan luas dengan semua golongan, seperti aktivis, seniman, politisi, dan lain sebagainya.
Keluarga Arifin Panigoro adalah perantau dari Gorontalo, yang bermigrasi ke Jawa sebelum kemerdekaan. Seperti diketahui dari teori ekonomi sumberdaya manusia, bahwa kualitas manusia yang menentukan ekonomi dan keberhasilan bisnis adalah: kualitas dan ketahanan fisik, ketrampilan atau keahlian dan migrasi. Yang terakhir ini adalah kemampuan melakukan perubahan mental dimana suku bangsa atau bangsa yan bermigrasi adalah kelompok yang bermental kuat, entrepreneur dan umumnya sukses dalam bisnis.
Karena latar belakang keluarga perantau, bermental wirausaha entrereneur, serta lulus universitas terbaik ITB, maka saya tidak heran Arifin Panigoro sukses mengasuh Medco Energy dan bahkan mendunia. Kita kehilangan pengusaha hebat, sekaligus putra bangsa yang terpilih dan terbaik karena sudah memberikan sumbangsih besar bagi negeri, membangun dunia usaha, mengembangkan kesempatan kerja yang luas dan menampilkan Indonesia di dunia bisnis internasional.
Panigoro & Paramadina
Apa hubungan Arifin Panigoro dan Paramadina? Ini tidak banyak diketahui orang dan sebenarnya tidak terlalu penting bagi umum. Namun sebagai rektor Universitas Paramadina dan dalam rangka mengenang pengusaha hebat ini, maka tidak ada salahnya kisah ini dikenang kembali.
Hubungan itu dimulai dari masa pasca reformasi dimana sekelompok aktivis sepertgi Sudirman Said, Erry Riyana bersama Arifin Panigoro dkk hendak mencari sosok pemimpin yang anti korupsi dengan rekam jejak yang jelas. Berdasarkan pemikiran dan mungkin penerawangan para aktivis ini, maka sosok Nurcholish Madjid lah yang cocok menjadi pemimpin itu. Karena itu, kelompok ini kemudian “berkampanye” mencalonkan Nurcholish MAdjid sebagai calon presiden era reformasi.
Kiprah Arifin tentu saja wajar karena dialah aktor di dalam reformasi tersebut sehingga terpikir untuk menemukan sosok anti-tesis dari tokoh-tokoh Orde Baru. Gerakan tersebut sempat bergema, tetapi akhirnya padam dengan sendirinya karena Cak Nur tidak punya “gizi”.
Istilah “gizi” ini diceritakan Cak Nur ketika datang ke partai diejek: “dari mana gizinya cak?” Cerita dalam maknanya karena sampai sekarang politik memang masih “blepotan” dengan politik uang.
Seperti diketahui, Nurcholish Madjid adalah pendiri dan sekaligus sebagai Universitas Paramadina yang pertama. Komarudin Hidayat adalah ketua umum Yayasan Paramadina. Ada juga tokoh sahabat Cak Nur, yaitu Sudirman Said yang sempat menjadi pejabat rektor Universitas Paramadina setelah Cak Nur wafat. Dari sini hubungan Arifin Panigoro dengan Paramadina begitu dekat, bahkan dengan murid-murid Cak Nur, seperti Komarudin Hidayat, Didik Rachbini, Fachry Ali, dan lainnya.
Hal kedua yang sangat penting adalah ketika Anies Baswedan menjadi Rektor Universitas Paramadina, satu lantai dari gedung energy didedikasikan untuk Paramadina Graduate School (PGS). Universitas Paramadina kemudian boleh berbangga mempunyai kampus di SCBD, daerah yang sangat keren. Tentu semua civitas akademika Universitas Paramadina sangat berterima kasih atas kebaikan hatinya.
Teman semua Golongan
Saya selalu ingat adalah rumah di Jalan Jenggala 1, yang menjadi rumah aktivis dan tempat berkumpul para aktivis, seniman dan orang-orang yang suka demokrasi dan pergerakan. Teman-teman dan tokoh-tokoh sering berkumpul di sini, seperti Heri Akhmadi, Komarudin Hidayat, Faisal Basri, Garin Nugroho, Eros Jarot, Sri Mulyani, ilmuwan Jepang Prof Takashi Shiraishi dan lebih banyak lagi yang tidak bisa disebut. Banyak sekali tokoh sudah tidak terhitung berkumpul cukup sering dan rutin di rumah yang asri tersebut. Bukan sekedar makan malam, tetapi berbincang politik dan keadaan negeri, yang sebenarnya merupakan kepedulian dan kecintaan Arifin Panigoro terhadap banga dan tanah air.
Di dalam politik saya menilai Arifin Panigoro adalah pendobrak dan tidak suka terhadap status quo. Masuk ke dalam politik sebagai anggota DPR 2004-2009 sebagai ketua fraksi PDIP dimana saya juga menjadi ketua komisi VI DPR RI. Tetapi tidak puas dengan keadaan partai yang tidak berubah, korup dan penuh intrik, maka muncul ide untuk membentuk partai baru bersama kawan-kawan seperjuangannya, Laksama Sukardi, Mintohardjo, Noviantika Nasoetion, dkk. Tidak betah di satu tempat jika banyak masalah sebenarnya merupakan kritik dan aksi kongkrit tidak suka terhadap apa yang dihadapinya.
Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina