JAKARTA, Cobisnis.com – Kisah menarik datang dari mendiang Paul Walker yang dikenal luas lewat perannya sebagai Brian O’Conner di waralaba Fast & Furious. Jauh sebelum era Henry Cavill, nama Paul Walker ternyata sempat masuk radar untuk memerankan karakter ikonik Superman.
Tawaran tersebut datang pada 2003 dengan nilai fantastis mencapai Rp 156 miliar. Nilai kontrak ini menunjukkan betapa besarnya ekspektasi studio terhadap proyek film superhero yang saat itu sedang disiapkan.
Informasi ini diungkap dalam film dokumenter I Am Paul Walker yang dirilis pada 2018. Dokumenter tersebut memuat kesaksian orang-orang terdekat Paul, termasuk manajernya, Matt Luber.
Matt Luber menyebut Paul Walker berada di posisi terdepan untuk mendapatkan peran Superman. Bahkan, proses pembicaraan kontrak sudah berjalan cukup serius pada saat itu.
Meski tawaran besar terbuka lebar, Paul Walker memilih menolak. Keputusan ini diambil bukan karena masalah finansial, melainkan pertimbangan jangka panjang terhadap karier dan kehidupan pribadinya.
Oakley Lehman, pemeran pengganti Paul Walker, mengungkap alasan utama penolakan tersebut. Menurutnya, Paul tidak ingin terikat dengan satu karakter ikonik selama bertahun-tahun.
Peran Superman hampir pasti mengharuskan sang aktor tampil dalam tiga hingga empat film lanjutan. Bagi Paul, komitmen jangka panjang itu terasa membatasi ruang eksplorasi kariernya.
Paul Walker bahkan sempat menjalani fitting kostum Superman. Saat mengenakan jubah dan simbol “S” di dada, ia menyadari bahwa karakter tersebut tidak merepresentasikan dirinya.
Dalam wawancara dengan Chicago Sun-Times pada 2003, Paul Walker juga menegaskan bahwa uang bukan prioritas hidupnya. Ia mengaku tidak membutuhkan kekayaan berlimpah untuk merasa cukup.
Paul menyebut gaya hidupnya sederhana, mulai dari sepatu, pakaian, hingga kebutuhan sehari-hari. Nilai-nilai ini menjadi dasar keputusannya untuk tidak mengejar proyek bernilai miliaran dolar.
Pada tahun yang sama, Paul Walker justru memilih membintangi 2 Fast 2 Furious bersama Tyrese Gibson. Pilihan ini kemudian memperkuat posisinya sebagai ikon film aksi jalanan.
Kisah ini menegaskan bahwa keputusan besar dalam industri hiburan tidak selalu ditentukan oleh angka kontrak, melainkan oleh visi hidup dan kenyamanan pribadi sang aktor.














