NUSA DUA, Cobisnis.com – Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Arif Havas Oegroseno, menyoroti meningkatnya dampak kebijakan tarif timbal balik Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik global terhadap iklim usaha dan daya saing industri sawit nasional.
Menurut Wamenlu Havas, ketidakpastian geopolitik kini menjadi faktor dominan dalam pengambilan keputusan bisnis di berbagai negara. Ia menyebut fenomena weaponisasi ekonomi dan perdagangan, yakni penggunaan kebijakan ekonomi dan hubungan bilateral sebagai alat politik untuk menekan negara lain sebagai realitas baru dalam perekonomian global.
“Dalam situasi seperti ini, strategi diversifikasi pasar dan mitigasi risiko menjadi sangat penting agar produk Indonesia tidak bergantung pada satu kawasan saja,” ujar Wamenlu Havas di gelaran IPOC 2025 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kamis (13/11/2025).
Indonesia, kata Wamenlu Havas, terus memperluas akses perdagangan ke kawasan Amerika Latin dan Afrika, sembari memperkuat kemitraan dengan Uni Eropa dan India. Upaya ekspansi ini telah menunjukkan hasil positif yakni, potensi kesepakatan dagang senilai 500 miliar dolar AS dengan negara-negara Amerika Latin, serta penjajakan kerja sama perdagangan bebas dengan Afrika Selatan dan Nigeria untuk memperluas pasar produk sawit dan minyak nabati nasional.
Lebih lanjut, Havas menegaskan bahwa daya saing industri sawit tidak hanya bergantung pada volume produksi, tetapi juga pada efisiensi biaya, integrasi hilirisasi, dan reputasi keberlanjutan. Indonesia, menurutnya, memiliki keunggulan dalam struktur biaya dan dukungan kebijakan hilirisasi, namun masih perlu meningkatkan produktivitas dan inovasi varietas berdaya hasil tinggi agar tetap kompetitif di pasar global.
Ia juga menyoroti bahwa keberlanjutan merupakan prinsip universal dalam hukum internasional, mencakup tiga pilar Utama diantaranya pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan. Ketiga pilar ini, lanjutnya, harus berjalan seimbang dan tidak dapat dipisahkan.
Sebagai contoh praktik baik, Havas menyinggung inisiatif FLEGT–VPA antara Indonesia dan Uni Eropa yang dinilainya bisa menjadi model penerapan regulasi deforestasi baru Uni Eropa (EUDR). Menurutnya, pendekatan ini dapat menjamin transparansi dan legalitas produk sawit Indonesia tanpa mengorbankan kedaulatan data nasional.
“Indonesia memiliki sistem yang kuat untuk menjamin keberlanjutan industri sawit. Penerapan EUDR harus dilakukan secara adil, proporsional, dan berbasis kemitraan,” tegasnya.
Havas juga mengusulkan penguatan sistem Licensing Information Unit sebagai titik komunikasi resmi antara Indonesia dan Uni Eropa dalam verifikasi legalitas, asal-usul, dan keberlanjutan produk. Sistem ini, kata dia, menjadi bentuk nyata komitmen Indonesia terhadap tata kelola perdagangan yang transparan namun tetap berdaulat.
“Kemitraan yang berbasis keadilan dan proporsionalitas akan menjadi kunci menuju perdagangan global yang lebih setara dan berkeadilan,” tutup Havas.














