JAKARTA, COBISNIS.COM – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuka peluang untuk menyesuaikan tarif pungutan pajak kripto setelah menerima keluhan dari pelaku usaha terkait beban pajak yang dinilai terlalu tinggi.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, menyatakan bahwa pembahasan mengenai tarif pajak kripto telah dilakukan, meskipun saat ini besaran tarif tersebut masih diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3 Tahun 2022.
Hasan mengakui bahwa penyesuaian tarif pajak kripto akan dipertimbangkan setelah pengawasan dan regulasi industri kripto resmi beralih dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK, yang diperkirakan akan terjadi pada 2025.
Ia menambahkan bahwa OJK akan membuka ruang diskusi dengan Kementerian Keuangan untuk membahas lebih lanjut terkait penyesuaian tarif ini.
Meskipun pembahasan sudah dilakukan, Hasan menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada tarif pajak kripto baru yang direkomendasikan.
Saat ini, transaksi aset kripto dikenakan pajak dua kali: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11 persen saat pembelian, dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Final sebesar 0,1 persen saat penjualan.
CEO Indodax, Oscar Darmawan, menyampaikan bahwa pajak kripto yang berlaku saat ini memberikan beban finansial yang berat bagi para investor. Menurutnya, total pajak yang harus disetorkan setiap bulan sering kali melebihi pendapatan yang diperoleh, sehingga dapat menghambat pertumbuhan industri kripto di Indonesia.
Oscar juga menyoroti berbagai jenis pajak yang dikenakan terhadap aset kripto, termasuk PPh, PPN, serta biaya bursa, deposito, dan kliring, yang menurutnya membuat beban pajak menjadi sangat tinggi. Ia menekankan pentingnya adanya pemicu yang dapat merangsang pertumbuhan industri kripto di Indonesia.
Pelaku industri kripto dan Bappebti sependapat bahwa evaluasi terhadap besaran pajak kripto sangat diperlukan untuk mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan industri ini di tanah air.








