JAKARTA, Cobisnis.com – F. Ghulam Naja, Ketua Tim Advokasi dan Contingency Plan Serikat Pekerja (SP) NIBA AJB Bumiputera 1912 pada kesempatan tersebut memaparkan pandangannya terkait kondisi AJB Bumiputera 1912 yang telah berlangsung lama dan dirasakan telah pada tekanan likuiditas tinggi sejak 3 tahun terakhir.
Hal tersebut ditandai dengan outstanding klaim yang merupakan hak Pemegang Polis dan telah menembus kurang lebih pada angka 8 Triliun. Di samping hak Pemegang Polis, hak Karyawan juga telah mengalami gangguan dan pelanggaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), secara faktual telah terjadi pelanggaran hak-hak normatif. Tunggakan sisa gaji serta hak-hak lainnya secara materiil dirasakan telah mengganggu dapur Karyawan.
Belum lagi hak Para Agen Asuransi berupa Komisi dan Insentif serta hak tenaga outsourcing seperti Office Boy, Satpam, tenaga bantu, serta pesuruh lainnya yang pendapatannya pas-pasan mengalami hal yang sama belum terbayarkan haknya.
Peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam upaya memecah kebuntuan belum berujung sejak hari Senin, 16 Maret 2021 dalam memfasilitasi forum yang melibatkan beberapa kelompok
Pemegang Polis, dari Asosiasi Agen Bumiputera Indonesia (AABI), Serikat Pekerja NIBA AJB Bumiputera 1912, serta dari Manajemen. Dalam forum dimaksud khusus dalam rangka pengesahan Panitia Pemilihan Anggota BPA.
Padahal telah disampaikan pendapat bahwa kewenangan OJK berdasarkan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, khususnya Huruf c kata “Tindakan Lain” serta Huruf h Angka 6 kata “Pengesahan” dan Angka 8 kata “Penetapan Lain” merupakan kewenangan OJK untuk mengakuisisi kewenangan Sidang BPA yang tidak dapat dilakukan sebagai akibat dari kekosongan Anggota
BPA yang telah ditegaskan dalam forum tersebut mengalami keksongan sejak 26 Desember 2020.
Akhirnya masalah tersebut terpaksa dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk permohonan penetapan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan tersebut sebagai akibat pemohon yang terdiri dari 3 (tiga) Pemegang Polis bukanlah pihak yang
sepatutnya karena tidak sesuai dengan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 dan juga tidak memperoleh kuasa dari Direksi, dan dari substansi materi Majelis Hakim dalam 1 (satu di antara beberapa pertimbangan hukumnya disampaikan bahwa OJK telah diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk melaksanakan hal ikhwal tersebut.
Tidak selesai di situ OJK mengembalikan masalah tersebut kepada Pemegang Polis dan beberapa unsur tersebut hingga
pada akhirnya penyelenggaraan Pemilihan Anggota BPA AJB Bumiputera 1912 dilakukan tanpa adanya pengesahan sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar baik dari pembentukan Panitia Pemilihan Anggota BPA maupun ketentuan/mekanisme Pemilihan Anggota BPA. Setelah Pemilihan Anggota BPA, terdapat Calon Anggota BPA di 2 (dua) Daerah Pemilihan yang tidak
diserahkan hasilnya ke OJK oleh Panitia sebagai akibat adanya dugaan kecurangan, hingga timbul adanya somasi dari salah satu Calon Anggota BPA. Sampai saat ini menjelang 110 Tahun ulang tahun AJB Bumiputera 1912 belum juga selesai dan entah sampai kapan Pemegang Polis
dan Pekerja harus menderita sebagai akibat ketidakpastian hukum atas nasib dan hak-hakbmereka.
Padahal dengan adanya UU 21 Tahun 2011 jika dilaksanakan dengan konsisten sudah
seharusnya persoalan AJB Bumiputera 1912 dapat mulai terurai. Sekalipun sejak awal bahwa permasalahan AJB Bumiputera 1912 tanpa harus berlarut-larut sudah dapat diselesaikan dengan
dibentuknya Pengelola Statuter sesuai ketentuan Pasal 9 Huruf e dan f UU 21 Tahun 2011.
Proses Pemilihan Anggota BPA merupakan kemutlakan yang harus diselenggarakan, namun jangan sampai menggeser isu utama di AJB Bumiputera 1912 yang menjadi permasalahan yang
tidak terus menerus ditunda, yaitu permasalahan likuiditas. Kedua permasalahan yang terjadi tersebut tidak dapat diselesaikan step by step, namun harus secara bersama-sama diperhatikan
dan diselesaikan secara cepat apapun itu caranya. Proses Pemilihan Anggota BPA harus dijalankan sesuai ketentuan dalam Anggaran Dasar dan dikawal dengan baik oleh seluruh Pemangku Kepentingan. Penyelesaian permasalahan AJB Bumiputera 1912 dalam kondisi buntu
dan Vacuum Of Power, satu-satunya hanya menggunakan Penetapan Pengelola Statuter.
Namun Otoritas Jasa Keuangan enggan menggunakan kewenangannya sebagaimana diberikan oleh Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Dalam proses Pemilihan Anggota BPA yang kepanitiaannya memerlukan pengesahan Sidang BPA tidak dapat dilakukan sebagai akibat kosongnya Anggota BPA, seharusnya OJK dapat menggunakan kewenangannya sebagaimana ketentuan dalam UU 21 Tahun 2011 dalam Pasal 9, baik dengan Penetapan maupun Tindakan Lainnya. Karena OJK itu menyandang nama
*Otoritas*, yang jika diterminologikan dalam bahasa lembaga ini mempunyai kekuasaan absolut dalam melakukan peranannya pada Lembaga Jasa Keuangan atau jika dianalogikan Tuhan-nya Lembaga Jasa Keuangan, sehingga setiap permasalahan yang terjadi terlebih jika
mengalami kekosongan hukum (recht-vacuum) maka OJK lah sebagai lembaga tertinggi di LJK dan tidak ada yang lebih tinggi. Namun jika OJK tidak berkenan menggunakan kewenangannya,
memang pada akhirnya memerlukan Penetapan dari Pengadilan sebagai lembaga peradilan yang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku menyelesaikan permasalahan di negara
ini, namun hal tersebut tidak sederhana dan butuh waktu, Indonesia sebagai negara hukum tentunya harus menegakkan supremasi hukum dengan
menganut asas kepastian hukum.
Artinya negara telah membayar mahal terbentuknya OJK melalui UU 21 Tahun 2011 sebagai lembaga otoritas yang dituntut mampu menggunakan peranannya dengan professional, penuh hati-hati, dan bertanggung jawab, serta tegas. Ketegasan inilah yang dimaksudkan mempunyai makna asas kepastian
hukum dalam penggunaan kewenangannya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara universal. Karena OJK itu lembaga otoritas yang memegang Wibawa Pemerintah, jadi jangan sampai terdapat keraguan dan/atau kekhawatiran dalam menggunakan wewenang.
Persoalan setiap tindakan yang telah dilakukan dan diputuskan oleh OJK kemudian mendapatkan perlawanan atau gugatan dari pihak lain, hal demikian
merupakan sesuatu hal yang alamiah dan normatif dalam suatu proses hukum, karena setiap subyek hukum di negara ini mempunyai hak atas itu untuk melakukan pembelaan.
Proses hukum tersebut yang pada akhirnya akan menjadi proses evaluasi, kira-kira apakah dalam suatu proses yang telah dijalankan melalui tahapan proses-proses yang menyertai serta putusan peradilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat (in-kracht) sebagai dasar evaluasi untuk mengetahui terdapat sesuatu hal yang kurang
atau keliru, Menang atau kalah dalam proses hukum bukanlah hal penting dan Utama, tapi upaya perbaikan untuk penyempurnaan tentunya jauh lebih utama. Dan dari proses tersebut akan diketahui apakah Undang-undang OJK nya yang perlu disesuaikan, ataukah
aturan pelaksanaannya yang masih terdapat kekurangan atau revisi, ataukah
pejabat/sumber daya manusianya yang perlu dievaluasi.
Sehingga negara mempunyai tolak ukur dari proses yang berjalan dan di sinilah letak penegakan supremasi hukum
serta asas kepastian hukum bagi masyarakat. Isu pergeseran dari persoalan likuiditas ke proses Pemilihan Anggota BPA melalui proses kepanitiaan yang difasilitasi OJK tersebut tentunya jangan sampai mengabaikan permasalahan likuiditas, Manajemen AJB Bumiputera 1912 bersama OJK jugà harus terus mengupayakan penyelesaian likuiditas sehingga pelayanan kepada Pemegang Polis, penjaminan hak-hak normatif Pekerja dan Agen, serta seluruh Pemangku Kepentingan di internal AJB Bumiputera 1912 tetap berjalan baik tanpa gangguan, sehingga kegiatan operasional tetap hidup.
AJB Bumiputera 1912 sebagaimana diketahui masyarakat, dengan berdirinya pada tanggal 12 Februari 1912 merupakan aset bangsa yang telah menyumbangkan nilai sejarah serta tatanan perekonomian bagi bangsa Indonesia. Selama beroperasi pasang surutnya telah memberikan pelajaran dan pengalàman bagi industri perasuransian di negeri ini.
Belum lagi sumbangan dalam bentuk setoran pajak bagi pendapatan negara serta lapangan pekerjaan bagi Pemangku kepentingan yang berjalan selama ini, hal tersebut tidak boleh dipungkiri dan oleh karenanya Pemerintah harus hadir dan turut serta dalam menyelesaikan persoalan yang telah berlarut-larut.
Kerugian yang dialami oleh berbagai pihak sudah nyata dan berlangsung lama, baik maupun immateriil. OJK harus tegas dan menggunakan kekuasaannya, karena OJK adalah lembaga Otoritas. Kerugian materil sudah menjadi pemandangan yang biasa barangkali selama ini, namun kerugian immaterial yang diderita OJK dan Pemerintah harus lebih peka, karena hal
ini mengancam kondisi perekonomian bangsa. Kerugian immaterial yang diderita oleh Pemegang Polis akibat belum dibayarkan klaimnya jelas berakibat pada psikologis PemegangPolis.
Bagi Karyawan, Agen, dan Tenaga Outsourcing, tentunya menderita kerugian immaterial yang mengakibatkan ketidakpercayaan lembaga yang berkaitan terkait reputasi keuangannya.
Mengajukan pinjaman di Bank sulit karena bekerja di AJB Bumiputera 1912, karena reputasinya diragukan. Belum lagi urusan dapur terganggu berdampak pada kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis bahkan kondisi anak dapat terancam putus sekolah.
Namun terdapat persoalan yang lebih besar yang dampaknya pada AJB Bumiputera 1912 sebagai entitas, masyarakat tidak percaya dengan AJB Bumiputera 1912 dan bahkan tidak percaya lagi dengan asuransi. Hal ini
yang OJK dan Pemerintah harus menyadari. Karena bisa jadi AJB Bumiputera 1912 sudah tenggelam karena sudah tidak dipercaya lagi masyarakat dan bahkan industri perasuransian
menjadi punah di negeri inì karena sudah tidak ada minat dan daya beli masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa industri perasuransian di Indonesia masih potensial digarap, karena dengan perkembangan kinerja bisnis asuransi dengan melihat jumlah perusahaan asuransi dibanding dengan jumlah masyarakat di Indonesia, tingkat kesadaran dalam berasuransi masih
rendah. Artinya industri perasuransian masih sangat potensial digarap guna mendukung pertumbuhan perekonomian negara. Karena kasus-kasus yang terjadi pada industri perasuransian terakhir-terakhir, sesungguhnya diakibatkan dari persoalan penerapan tata kelola perusahaan yang tidak baik. Jangan sampai persoalan tersebut kemduian disimpulkan oleh masyarakat pada
akhirnya bahwa berasuransi itu menjadi investasi yang tidak aman. OJK bersama Perusahaan Perasuransian masih mempunyai pekerjaan rumah yang panjang dalam melakukan fungsi
edukasi di masyarakat akan kesadaran dan manfaat berasuransi.
Oleh karenanya permasalahan
yang terjadi pada Perusahaan Asuransi yang sakit menjadi salah resep terlebih menghindari dari kewenangan yang ada dalam Undang-undang yang sesungguhnya hal tersebut mutlak dilakukan.
Permasalahan AJB Bumiputera 1912 merupakan persoalan yang unik, selain Pemerintah secara histori harus mempertahankan AJB Bumiputera 1912 sebagai aset bangsa, juga mempertahankan
kehidupan perekonomian melalui Usaha Bersama yang merupakan satu satunya disandang AJB Bumiputera 1912.
Hadirnya Pemerintah melalui UU 2 Tahun 1992 yang terakhir diubah dengan
UU 40 Tahun 2014 dalam perspektif hukum barulah pengakuan sebagai Badan
Hukum, mengingat kegiatan operasional terhadap Usaha Bersama masih diamanatkan kembali dalam produk hukum lainnya. Amanat Putusan MK RI tahun 2013 belum selesai dilakukan
antara Pemerintah bersama DPR RI dalam mewujudkan terbitnya UU Usaha Bersama, sudah terbit UU 40 Tahun 2014. Terbitnya PP 87 Tahun 2019 menjadi payung hukum pertama yang sesungguhnya dinantikan, karena landasan hukum operasional Usaha Bersama baru termaktub dalam PP dimaksud, sekalipun PP dimaksud masih memerlukan banyak regulasi turunan yang lebih komprehensif dan mendalam memberikan rambu-rambu tentang Usaha Bersama.
Usaha Bersama yang sesungguhnya menarik dimanfaatkan oleh masyarakat karena sifat usaha dan pengelolaannya dengan prinsip gotong royong dan tidak menganut kapitalisme namun lebih
menggunakan pendekatan pengelolaan skema syariah, karena untung dan rugi dibagi oleh Anggotanya. Hal tersebut perlu sosialisasi dan edukasi yang terus menerus untuk membumikan Usaha Bersama dalam benak masyarakat. Inilah yang harus menjadi tantangan Pemerintah, OJK,
dan AJB Bumiputera 1912 sebagai pelaku untuk dapat mewujudkan eksistensi AJB Bumiputera 1912 yang dimulai dari semangat melakukan perubahan fundamental baik dari segi aturan
maupun pemeliharaan serta proses edukasinya terhadap masyarakat.
Tentunya peranan Anggota
BPA sebagai wakil Anggota yang merupakan Pemegang Polis diefektifkan melalui digitalisasi komunikasi yang lebih sistematis dan massif baik kepada Pemegang Polis maupun masyarakat.
Sangat prihatin dan disayangkan usia PP 87 tahun 2019 yang hanya seumur jagung, sesuatu hal yang seharusnya disyukuri namun menjadi jiwa tanpa ruh sebagai dampak putusan Mahkamah Konstitusi RI yang dibacakan pada tanggal 14 Januari 2021, dan hal tersebut justru sebagai
akibat dari proses Judicial Review Anggota BPA. Dampaknya Usaha Bersama harus menunggu kembali dalam waktu dan penantian panjang untuk mendapatkan payung hukum berbentuk Undang-undang, terlebih proses Undang-undang untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tidak mudah dan banyak faktor. Sedangkan di satu sisi kondisi likuiditas semakin memburuk dan masyarakat mulai hilang kepercayaan.
Permasalahan yang terjadi di AJB Bumiputera 1912 tentunya yang terbaik penyelesaiannya dikembalikan dengan berpedoman pada aturan/regulasi.
Jangan sampai OJK resistance menggunakan kewenangan yang selazimnya hal tersebut mutlak dilakukan. Karena selain waktu yang terus berlarut-larut, kerugian yang diderita oleh Pemegang Polis, Pekerja, Agen Asuransi,
dan pemangku kepentingan lainnya, harus mempertimbangkannya potensi ancaman akan terganggunya sektor lembaga jasa keuangan dalam perekonomian nasional. OJK harus tegas dan tidak boleh resistance menggunakan kewenangannya berupa Penetapan Pengelola Statuter karena situasinya sudah mendesak. Jangan sampai Pemegang Polis, Pekerja, Agen, Satpam,
Office Boy, dipaksa Puasa Nabi Daud.
Dalam pemaparannya, F. Ghulam Naja menyampaikan bahwa kriteria penggunaanbkewenangan Penetapan Pengelola Statuter sudah sesuai dengan regulasi, baik Pasal 9 UU 21 Tahun 2011 maupun Pasal 2 Ayat (3) POJK Nomor 41/POJK.05/2015 bahwa kondisi
keuangan AJB Bumiputera 1912 sebagai Lembaga Jasa Keuangan dapat membahayakan kepentingan Pemegang Polis selaku Konsumen dan bahkan sektor jasa keuangan.
Disamping itu, penyelenggaraan kegiatan usaha AJB Bumiputera 1912 tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, seperti penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yang ditunjukkan dengan kondisi Anggota BPA yang kosong, jumlah Komisaris Independen hanya 2 orang, dan jumlah Direktur hanya 1 orang.
Terdapat pula Organ Perusahaan tersebut tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di AJB Bumiputera 1912. Kondisi tersebut telah terang benderang, sudah patut dan layak untuk ditempuh bagi OJK untuk menggunakan kewenangan nya, jangan sampai terdapat kekhawatiran atau resistensi, karena akan terjadi stagnasi dan tidak terjaminnya asas kepastian hukum dalam penegakan aturan hukum.
Dengan memperhatikan kondisi AJB Bumiputera 1912 tersebut serta dengan berdasarkan kerangka acuan aturan yang melandasinya, khususnya Pasal 2 Ayat (4) POJK Nomor 41/POJK.05/2015 bahwa Kepala Eksekutif IKNB yang mempunyai peranan dan mekanisme untuk membuat usulan kepada Dewan Komisioner OJK, tidak lagi menunda-nunda penggunaan kewenangannya, Penetapan Pengelola Statuter merupakan langkah yang tepat dan akurat untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Penetapan Pengelola Statuter saat ini
berbeda kondisi dan latar belakangnya dengan Penetapan Pengelola Statuter sebelumnya terhadap AJB Bumiputera 1912, penerapan Pengelola Statuter saat ini bersifat mendesak.
Jangan sampai suatu saat OJK dipersalahkan karena membiarkan kondisi AJB Bumiputera 1912 terus terjadi sedangkan alat untuk menanggulanginya tersedia dalam Undang-undang. Dan seiring waktu terus berjalan, dengan penyelesaian berlarut-larut tersebut
Pemegang Polis, Pekerja, Agen, dan masyarakat luas disajikan tontotan ketoprak yang tidak lucu dengan gugatan-gugatan hukum antara Ketua BPA dengan OJK, apalagi praktek-praktek Abuse
of Power serta ugal-ugalan di internal AJB Bumiputera 1912 terjadi terus dari waktu ke waktu yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Jadi Kepala Eksekutif IKNB harus tegas dan tidak boleh kehilangan taring menggunakan kewenangannya dengan menetapkan Pengelola Satuter
guna menyelamatkan kepentingan Pemegang Polis dan sektor Jasa Keuangan yang dapat mengancam ketidakpercayaan masyarakat terhadap asuransi, dan hal tersebut sudah merupakan pembiaran karena memakan waktu penanganan yang cukup lama. Situasi di penghujung waktu
periode kepengurusan Riswinandi sebagai Kepala Eksekutif yang menanungi industri
perasuransian dibayangi dugaan tindak pidana pembiaran sebagaimana dimaksudkan dalam KUHP, terlebih kerugian karambolnya baik materiil maupun immaterill yang diderita Pemegang Polis, Pekerja, hingga Mitra Usaha sangat terang benderang.
Di sisi lain dalam kondisi demikian campur tangan Pemerintah dan MPR/DPR sudah diperlukan, evaluasi terhadap OJK, yang salah Undang-undangnya, atau orangnya, atau OJK nya yang belum secara maksimal mengimplementasikan Undang-undang dengan regulasi turunannya sebagai
penunjang melaksanakan peranan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
Proses Pemilihan Anggota BPA dan upaya penyelesaian likuiditas tetap harus dilakukan. Ibarat lebih dahulu mana ayam sama telor, hakekatnya menunggu ketegasan pemegang kekuasaan apapun
hasilnya yang lebih dahulu dihasilkan tetap yang terbaik bagi semua pihak, khususnya Pemegang Polis, Pekerja, dan masyarakat lainnya yang menjadi bagian dari proses di AJB Bumiputera
1912. Yang terbaik demi kepentingan ummat banyak dan mengakhiri penderitaan serta menjaga
wibawa Pemerintah, Pengelola Statuter paling lama 6 bulan untuk mengatasi kekosongan Organ Perusahaan serta mengendalikan Abuse of Power di internal Perusahaan, Bagaimanapun juga
selain AJB Bumiputera 1912 harus lekas diambil alih melalui penunjukan Pengelola Statuter, jangan dilupakan dosa Pemerintah bersama DPR melaksanakan amanat Putusan MK RI tahun
2013 yang terabaikan berkaitan dengan terbitnya UU Usaha Bersama, sehingga jangan terulang kembali Presiden bersama DPR sampai dengan paling lama 13 Januari 2023 sudah harus menyelesaikan UU Usaha Bersama demi terselamatkannya asset dan sejarah bangsa Indonesia dan bangunan perekonomian yang menjadi soko guru dari industri perasuransian di negeri ini,
dengan harapan kepercayaan masyarakat akan industri perasuransian serta masa depan masyarakat yang merupakan bagian dari stakeholders Usaha Bersama senantiasa terus menjaga dan selalu menjadi bagian dari tumbuh dan berkembangnya AJB Bumiputera 1912 sebagai asuransinya bangsa Indonesia.
Pada kesempatan yang baik ini dengan semangat perjuangan Pekerja, hari ini merupakan hari kemenangan bagi seluruh insan AJB Bumiputera 1912, karena
hingga detik ini masih diberikan kekuatan menjaga marwah Pendiri dan pendahulu Perusahaan. Tidak perlu panik dan resah, karena sesungguhnya AJB Bumiputera 1912 menyimpan misteri besar dan kekhawatiran ditutupnya Perusahaan sebagai akibat dari kondisi Perusahaan
sesungguhnya hanya sentiment negatif yang dibangun oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai bangsa yang berjiwa besar, insan AJB Bumiputera 1912 yang merupakan
kekuatan dari Pemegang Polis, Pekerja, dan Mitra harus mempunyai keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa ta’aala secepatnya akan memberikan keselamatan melalui pemimpin yang adil dan bijaksana di Perusahaan tercinta ini. Dirgahayu 110 Tahun AJB Bumiputera 1912 – 12
Februari 2022.
Penulis
F. Ghulam Naja
Ketua Tim Advokasi dan Contingency Plan SP NIBA AJB Bumiputera 1912