JAKARTA, Cobisnis.com – Seharusnya BUMD Transjakarta (TJ) tidak usah ikut menjadi operator, tetapi lebih berfungsi sebagai *wasit pelayanan* yang mengawasi seluruh persyaratan dan aturan main sudah ditetapkan.
Para operator yang melakukan kontrak kerja dengan TJ itulah yang jadi *pemain* yang diawasi/di-wasit-i oleh TJ.
Dalam melakukan pengawasan aturan main tersebut, TJ harus adil dan disiplin menerapkan aturan dan persyaratan yang ada.
Jika TJ sendiri ikut jadi *pemain*, bukan tidak mungkin pengawasan dan aturan main menjadi memiliki standar ganda yang bisa menjadi tidak adil dalam TJ melaksanakan tugasnya karena TJ menjadi _ambiguity_.
Satu pihak TJ menjadi pengawas dan penegak aturan pelayanan. Sedangkan di satu pihak lainnya TJ sebagai operator yang harus mencari keuntungan, yang terkadang meng-anakemas-kan TJ sebagai operator, dengan memberi prioritas lebih (untuk peluang keuntungan, misalnya dengan menempatkan armadanya pada rute yang panjang) dan lebih toleran (lebih kendor) terhadap aturan yang ada.
Sementara kepada operator lain lebih ditekan pada disiplin sampai sekecil-kecilnya.
Bila terjadi pelanggaran langsung diberi _penalty_.
Status TJ sebagai operator, bukan lagi sebagai _fill in_ tapi sudah mendominasi armadanya.
Kerja TJ sebagai *wasit* pelayanan menjadikan konsentrasinya buyar, karena harus terbagi dengan tugas sebagai operator.
Organisasi TJ menjadi besar, SDM juga tambah banyak dan anggaran juga semakin besar, urusan juga semakin majemuk (urus bus, urus tenaga kerja, urus bengkel, urus pool bus, urus diklat, dll).
Tulisan oleh Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno