Cobisnis.com – PT Bank BTPN Tbk mencatatkan penurunan kredit karena pelemahan aktivitas bisnis dan repayment kredit yang lebih tinggi dibandingkan pemberian fasilitas kredit baru.
Pada akhir triwulan IV-2020, total kredit Bank BTPN turun sebesar 4% (year-on-year/yoy) menjadi Rp 136,2 triliun. Namun segmen korporasi masih mencatat pertumbuhan sebesar 4% menjadi Rp 78,7 triliun (yoy).
Perseroan telah melakukan restrukturisasi pada portofolio yang terdampak langsung oleh pandemi COVID-19. Hingga akhir Desember 2020 akumulasi total nilai kredit yang disetujui untuk mendapat restrukturisasi kredit adalah sebesar Rp 13,2 triliun atau sekitar 9,7% dari keseluruhan portofolio kredit konsolidasi.
Namun kinerja ini bukti pertumbuhan yang sehat serta fundamental tetap kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global dan dalam negeri.
Fokus perseroan memastikan kesehatan nasabah dan karyawan, bekerja sama dengan nasabah yang terdampak, serta mendukung kelangsungan usaha mereka dengan melakukan relaksasi kredit menurut ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pada saat bersamaan juga merealisasikan fasilitas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
“Kami memitigasi dampak dan risiko dengan cara memberikan pinjaman secara selektif, melakukan restrukturisasi dan manajemen biaya kredit, secara proaktif mengelola NPL, mengurangi biaya dana, aktif mengelola likuiditas dan pendanaan serta meningkatkan efektivitas operasional secara berkesinambungan,” kata Direktur Utama Bank BTPN, Ongki Wanadjati Dana dalam keterangannya, Kamis (25 Februari 2021).
“Kami juga terus mengakselerasi kapabilitas perbankan digital kami untuk menghadirkan layanan perbankan yang bukan saja relevan tapi menjawab tantangan pandemi bagi para nasabah kami,” ujarnya.
Covid-19 berdampak pada perlambatan penyaluran kredit di industri perbankan. OJK mencatat terjadi penurunan rata-rata industri sebesar 2,4% pada akhir 2020. COVID-19 juga berdampak pada penyaluran kredit Bank BTPN, terutama pada segmen mikro, small and medium enterprises (SME), komersial, pembiayaan konsumen dan Syariah.
Kualitas kredit Bank BTPN masih terjaga baik, seperti tercermin dari gross NPL yang berada di level 1,21% pada akhir Desember 2020. Angka ini masih relatif rendah dibandingkan NPL industri perbankan yang pada akhir Desember 2020 tercatat sebesar 3,06%.
Untuk pemenuhan kebutuhan pembiayaan kredit, perseroan menghimpun pendanaan sejumlah Rp145,5 triliun sampai dengan akhir Desember 2020. Total dana pihak ketiga meningkat sebesar 16% menjadi Rp 100,8 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Saldo CASA meningkat sebesar 14% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Upaya menghimpun dana pihak ketiga dilakukan sejalan dengan upaya menekan biaya dana seiring dengan tren penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Pertumbuhan dana pihak ketiga tidak lepas dari tingginya tingkat kepercayaan nasabah serta kuatnya fondasi bisnis Bank BTPN.
Rasio likuiditas dan pendanaan berada di tingkat yang sehat, dimana liquidity coverage ratio (LCR) mencapai 281,70% sementara Net Stable Funding Ratio (NSFR) 115,14% pada posisi 31 Desember 2020. Perseroan mencatat pertumbuhan aset sebesar 1%, dari Rp 181,6 triliun menjadi Rp 183,2 triliun, dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) 25,6%.
Melemahnya sektor perekonomian akibat COVID-19 dan dampaknya terhadap debitur perbankan menyebabkan Bank BTPN perlu menyiapkan biaya pencadangan kredit sebesar Rp 2,8 triliun. Penurunan suku bunga dan restrukturisasi kredit berdampak pada penurunan pendapatan bunga bank.
Sebagian dari dampak penurunan ini dapat di-offset oleh penurunan beban bunga. Net interest income turun 3% menjadi Rp 10,6 triliun. Biaya operasi dapat dijaga dengan baik, turun sebesar 3% (yoy).
Di luar biaya CKPN, walaupun ada tekanan di pendapatan perseroan akibat COVID-19, Bank BTPN dapat mempertahankan laba sebelum biaya kredit dan pajak pada tingkat yang sama dengan tahun lalu yaitu sebesar Rp 5,4 triliun, sehingga dapat menjadi penyangga yang memadai untuk mengantisipasi kebutuhan biaya pencadangan.
Kenaikan biaya CKPN menekan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik tahun 2020 turun menjadi Rp 1,75 triliun (32% lebih rendah dibandingkan tahun lalu).